Rabu, 11 Januari 2012

SEKILAS TENTANG ASAS LEGALITAS


Kemunculan asas legalitas dilatarbelakangi sejarah yang sangat panjang di mulai dari zaman Romawi kuno yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
    In ancient Roman law that uses the Latin, is not known what thecalled the principle of legality. At the time the crime known criminal called extra ordinaria, which means 'the crimes that are not mentioned in the law'. In between criminal extra ordinaria this is the famous criminal stellionatus (deed wicked / evil). Historically, this criminal extra ordinaria kings adopted the ruling. Soopen a very wide opportunity to apply it arbitrarily. Bytherefore, the thought of must be specified in regulationsfirst invitation deeds what could be nvicted. From hereconstraints arise for states to apply criminal law.
    (Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Di antara criminal extra ordinaria (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana).[1]

Pada Tahun 1791 yaitu setelah adanya revolusi Perancis dibentuklah suatu Code Penal yang dalam Code Penal inilah yang menurut para ahli hukum pidana dianggap sebagai embrio dari asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, kemudian pada tahun 1810 seorang penulis berkebangsaan Inggris yang bernama Bentham dengan pemikirannya yang dituangkan dalam suatu tulisan sangat mempengaruhi pembentuk Code Penal sehingga terbentuk suatu Code Penal baru, dan karena sejarahnya bangsa Perancis pernah menjajah bangsa Belanda maka pada tahun 1881 Wetboek van Strafrecht Belanda terbentuk tanpa sesuatu komentar apapun Pasal 4 Code Penal telah dijadikan suatu ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht dikarenakan Belanda pernah menjajah Indonesia, maka berdasarkan asas konkordansi ketentuan dari Belanda diberlakukan di Indonesia, maka Pasal 4 Code Penal dikenal di Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.[2]
Ditinjau dari sejarah kelahirannya ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP mempunyai hubungan yang erat dengan usaha manusia untuk mendapatkan suatu kepastian hukum dengan kata lain pencantuman asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP bertujuan mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang dapat merugikan individu maupun masyarakat.
Menurut Lamintang  “asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa latin yaitu nullum crimen noela poena sine praevia lege poenali yang diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach” pada abad ke-19 dalam bukunya yang berjudul lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), yang artinya tidak ada (nullum) delik, tiada pidana (poena) tanpa (sine) terlebih dahulu diadakan (preavia) ketentuan (lege poenali). Ajaran Feuerbach ini dikemukannya sehubungan dengan pembatasan keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan, ajaran ini dikenal dengan teori Psychoolgise zwang yang memuat tiga ketentuan yaitu :
a.       Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana.
b.      Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang.
c.       Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbutan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan undang-undang terhadap pelanggarnya.[3]

Dengan demikian pendapat von Feuerbach mengenai asas legalitas dapat disimpulkan yaitu seseorang tidak dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.
Selain itu dalam asas legalitas terdapat hal-hal penting yang tidak lepas dari pengertian asas legalitas yang dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut :
    In countries that adopt the principle of individualistic schools oflegality ismaintained, whereas in the socialist principle of stateThis lot is no longer the Soviet adopted a clearsince 1926.This is in accordance with the tradition of civil law systems, thatThere are four aspects of the legality principle is strictly applied, namelylegislation (law), retroaktivitas (retroactivity),lex chert, and analogies. Regarding this fourth aspect, Roelof H. Haveman said that though it might be said that not everyaspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives amore true meaning to principle of legality.
    (Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926. Hal demikian sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, Roelof H. Haveman menyatakan bahwa meskipun bisa dikatakan bahwa tidak setiap Aspek ini yang kuat dengan sendirinya, kombinasi dari empat aspek memberikan makna lebih benar prinsip legalitas).[4]

Prisip legality merupakan  karakteristik yang esentieel, baik ia dikemukakan oleh rule of law konsep, maupun oleh faham echtstaat dahulu, maupun oleh konsep socialist legality. Demikian misalanya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakukanya asas nullum delictum dalam hukum pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip legality. Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[5]

Mengenai Asas legalitas ini secara jelas dapat diketahui di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.
Berangkat dari pengertian tersebut Komariah Emong Sapardjaja yang bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu :
1.      Bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur.
2.      Bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya.
3.      Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
4.      Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.[6]

Sedangkan menurut Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas, antara lain :
1.      Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, berdasarkan. Pasal 3 KUHP) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 KUHP menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten / kotamadya) dan seterusnya.
2.      Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat / nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku.
3.      Dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit / ketat di dalam peraturan perundang-undangan).[7]

Namun pandangan yang berbeda diucapkan Letrosne ia mengatakan bahwa ”asas legalitas memiliki segi pragmatis, oleh karena dalam  perundang-undangan pidana terdapat rumusan yang samar dan tidak ada batasan yang tegas dari masing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kehajatan yang tidak dipidana”.[8]
Akan tetapi dari pandangan tersebut para pembentuk undang-undang sepakat, untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan, asas legalitas diberikan celah untuk dilakukannya interpretasi judisial. Interpretasi judisial yang dimaksud adalah menjalankan undang-undang setelah undang-undang itu menjadi jelas atau menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan jelas. [9]
Dalam bahasa yang berbeda Mulyatno menyatakan bahwa dalam asas legalitas juga tidak ditutup akan adanya kemungkinan terjadinya tafsiran extensief yang berpegang pada aturan yang ada. Disitu ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang yang dibentuk. Sehingga tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya undang-undang, tetapi pada waktu penggunaannya : karena itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti halnya dengan cara interprestasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang.[10]
Dalam asas legalitas terdapat dua macam prinsip / asas untuk patut tidaknya seseorang dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip / asas tersebut adalah :
1.   Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat dipidana adalah ketentuan dalam Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
2.     Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat. [11]



[1] Aditya Widyatmoko, Komparisi  Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Ppidana (KUHP), data diakses tanggal 5 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/123550108201010551.pdf., h. 27-28.

[2] Ibid, h. 30.

[3] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,  Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 132-134.

[4] Aditya Widyatmoko, Op. Cit, h. 27-28.

[5] Moeljatno, 2002, Asas – Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, h. 25.

[6] Lilik Muliady, Asas Legalitas Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan Hukum Pidana, data diakses tanggal 23 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/07/19/asas-legalitas-dalam-perspektif-hukum-pidana-dan-kajian-perbandingan-hukum-bagian-ii/ (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi II)

[7] Ibid

[8] Ujungpangkah Pos, Pengertian Asas Legalitas, data diakses tanggal 7 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/pengertian-asas-legalitas.html

 

[9] Siti, Kebijakan dalam menindaklanjuti asas legalitas, data diakses tanggal 8 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://siti.staff.ugm.ac.id/wp/?p=17


[10] Moeljatno, Op. Cit, h. 28-29.


[11] Aditya Widyatmoko, Op. Cit, h. 31-32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar