Rabu, 11 Januari 2012

PERMULAAN PELAKSANAAN / UITVOERINGSHANDELINGEN

Permulaan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen), adalah suatu perbuatan pendahuluan yang dilakukan petindak sejalan dengan niat atau kehendaknya sehingga perbuatan pelaksanaan ini dinggap sebagai inti (wezen) dari percobaan.
Niat menurut Moeljatno dalam Adami Chazawi ”adalah sikap batin seseorang yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuatnya”. Sedangkan menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud.
Berdasarkan hukum kanonik (katolik) dinyatakan bahwa ”suatu kemauan atau kehendak telah merupakan tindak pidana / kejahatan (voluntas est paccatum)”,[1] hal ini sejalan dengan ajaran hukum islam yang menyatakan bahwa  ”berniat jahat terhadap sesorang sudah merupakan sebab, sehingga ia dapat dihukum berdasarkan hukum agama islam”. akan tetapi berdasarkan asas cogatitionis poenam nemo patitur dinyatkan bahwa tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan dalam batinnya (Asas ini hanya berlaku pada masyarakat yang menerapkan system hukum skuler).
Sedangkan van Hamel mengajarkan mengenai permulaan pelaksanaan, berikut ajaran van Hamel tentang permulaan pelaksanaan : ”perbuatan apa yang dianggap sebagai pelaksanaan perbuatan yaitu apabila dari perbuatan itulah terbukti kehendak yang kuat dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatannya.”[2]
Perbuatan dapat dikatakan membahayakan kepentingan hukum, dapat dilihat dari jenis-jenis dari pada delik yaitu delik formal dan delik materiil. Berikut penulis jelaskan maksud dari delik-delit tersebut :
a.   Pada delik formal yang dimaksud perbuatan permulaan adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang apabila perbuatan itu merupakan sebagai dari pada perbuatan yang dilarang tadi. Artinya apabila suatu delik mempunyai beberapa unsur itu, maka jika salah seorang melaksanakan salah satu unsur itu, perbuatan itu telah dianggap sebagai permulaan dari delik.[3]
b.      Sedangkan pada delik materiil, perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan adalah suatu perbuatan yang menurut sifat adalah sedemikian rupa, sehingga secara langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.[4]
Senada dengan hal diatas, dalam literature juga dikenal ada dua aliran mengani dasar-dasar pemidanaan, atau yang digunakan sebagai ukuran untuk memisahkan antar perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan, berikut aliran tersebut :
a.       Teori percobaan subyektif (Van Dijck, Van Hamel dan Vos)
Bertolak pangkal kepada diri atau jika dari petindak. Seorang yang “sudah mengucapkan niatnya untuk melakukan tindak pidana atau menyatakan niatnya dalam tindakan permulaan sudah harus dipidana (dalam literatur dinamakan sujektief onrechtselement)”, meskipun belum terjadi suatu kerugian kepentingan hukum sesuai dengan pasal yang dipidana, atau jika disederhanakan maksud dari teori ini adalah “harus dilihat apakah perbuatan seorang itu sejalan dengan niatnya atau tidak. Kalau perbuatan itu sejalan dengan niat atau kehendaknya, maka perbuatan inilah yang dimaksud dengan perbuatan pelaksanaan suatu percobaan.”[5] Atau lebih senderhana lagi dikatakan sebagai la valeur symptomatique de l’acte atau apa yang dilakukan merupakan perwujudan dari niatnya.[6]
b.      Teori percobaan obyektif (Zevenbergen dan Duynstee)[7]
Bertolak pangkal kepada “perbuatan / tindakan dari petindak yang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang.” atau secara sederhana dikatakan sebagai I’idoneite de l’acte atau potensi untuk menimbulkan delik.[8]



[1] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 308

[2] Widnyana, 1992, Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.5.

[3] Ibid

[4] Ibid, h. 6

[5] Ridwan Halim, 1984, Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 98.

[6]  Moeljatno, 1983, Hukum Pidana Delik-Deli Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, h. 33.

[7] Menurut Simons dan beberapa putusan Hoge Raad berpendapat bahwa KUHP menganut teori objektif.

[8] Moeljatno. Loc. Cit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar