Jumat, 16 Maret 2012

PARADIGMA PERKAWINAN PADA GELAHANG DI BALI


1.1.Pendahuluan
            Kawin “pada gelahang” secara faktual eksistensinya  sudah berlangsung sejak tahun 1945 sebagaimana  dikemukakan dalam hasil penelitian Wayan P. Windia, Dkk. Sebagai terminologi, periodisasi, isi gagasan tampaknya masih menjadi problema dan menyandang muatan kontroversi. Namun hal tersebut tidak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi yang ditawarkan oleh  perkawinan pada gelahang itu.
            Sebagai trend, kawin pada gelahang sudah sejak kemunculannya diwadahi dalam berbagai kemasan ritual terlebih  dilegalisasi desa mawacara, maka  kawin pada gelahang  secara substansi  justru  berkembang biak hingga kini,  ibarat sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bahkan dari sudut ini substansi kawin pada gelahang sepertinya baru lahir dan berkembang. Tak berlebihan hampir disegala  lini wacana, mulai  agama, adat, sosial, moral, hukum, filsafat  sampai teologi  menuai berhamburan kerangka-kerangka pikir baru yang hanya dapat dimengerti jika kita memahami segala isu yang bermula dilemparkan oleh fenomen kawin pada  gelahang.
            Sebagai suatu peringatan ketika kita review terhadap pemahaman konsep kawin pada gelahang  kita memang mudah terjebak ke dalam berbagai kerancuan perspektif, terutama jika kita hendak amat risih membuat batasan-batasaan tegas yang memisahkan antara kawin pada gelahang,  kawin biasa, dan  kawin nyentana. Mungkin saja secara karikatoris kawin pada gelahang mudah bercampur baur dengan substansi isinya yang sangat kompleks. Kawin pada gelahang dalam perspektif etika (moralitas) kerap tumpang tindih dengan kawin pada gelahang dalam perspektif filosofis. Yang pertama bicara tentang harmonisasi korelasi Tri Hita Karana dengan pembabakan tersendiri, yang kedua bicara tentang perubahan kerangka dasar pemikiran dengan pembabakannya yang karakeristik pula. Belum lagi pada pembicaraan fenomena kultural menyebabkan antara kulturkritik dan ideologikritik saling berbantahan/berbenturan.
            Namun apapun label yang kita gunakan, setidak-tidaknya  realita kawin pada gelahang yang berkembang telah membukakan persoalan-persoalan mendasar dan paradigmatik  dalam peradaban manusia (umat hindu) diabad reformasi kini. Pakar Hukum Adat  seperti Wayan P. Windia dkk misalnya telah membantu menegaskan secara populer relativitas dan sisi ideologis dunia hukum adat kita.

1.2.Perkawinan Menurut Hindu
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud “Perkawinan adalah hubungan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa Pasal. Selanjutnya pasal 2 nya menegaskan bahwa “syahnya suatu perkawinan berdasarkan hukum Agamanya masing-masing”.
Dalam ajaran agama hindu tujuan perkawinan secara ekplisit tertuang dalam  Veda  Sabda  Suci Pedoman Praktis Kehidupan  pada romawi VII. 7.8.3.1 tentang Perkawinan (Vivaha) hanya menyebutkan tujuan perkawinan itu  meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), Praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma. (Titib,1996:394).
Perkawinan dalam  Manawa Dharmasastra IX,45 (Puja.1978.540) tersebut ada dinyatakan bahwa istri itu tunggal dengan suaminya. Ini artinya kedudukan wanita dan laki-laki adalah setara dan sangat utama dalam pandangan Agama Hindu. Karena itu dalam Rgveda laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut dengan satu istilah yaitu Dampati artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa Bali disebut “dempet”. Demikian juga adanya istilah suami dan istri. Kalau orang disebut istri sudah termasuk didalamnya pengertian suami. Kalau ada perempuan yang sudah disebut sebagai istri sudah dapat dipastikan ada suaminya. Karena kalau ada perempuan yang belum bersuami tidak mungkin dia disebut istri. Demikian juga kalau ada laki-laki disebut sebagai suami sudah dapat dipastikan ada istrinya. Tidak ada laki-laki yang bujangan disebut suami. Mereka disebut suami dan istri karena mereka sejajar tetapi beda fungsi dalam rumah tangga. Kata suami dalam bahasa sansekerta artinya master, lord, dominion atau pemimpin. Sedangkan kata istri berasal  dari bahasa sansekerta dari akar kata “str “ artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita juga berasal dari bahasa sansekerta dari asal kata “van” artinya to be love (yang dikasihi). Hal itulah yang menyebabkan wanita setelah menjadi istri kewajibanya menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarga. Dalam Mahabharata Resi Bisma menyatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta kebahagiaan. Karena itu Rahvana yang menghina Dewi Sita dan Duryudana yang menghina Dewi Drupadi, kedua-duanya menjadi raja yang terhina. Dalam Manawa Dharmasastra III.56 (Puja.1978.146) ada dinyatakan bahwa dimana wanita itu dihormati disanalah para Dewa akan melimpahkan karunia kebahagiaan dengan senang hati. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada Upacara Yadnya apapun yang memberi pahala kemuliaan.
Yatra nậryastu pὐjyante
Ramante tatra dewatah
yatraitậstu na pὐjyante
sarvậstatra phalậh kriyậh(Manawa Dharmasastra III.56)

Artinya :
Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugrahnya.Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia.Istri dalam rumah tangga memiliki  peran yang amat utama untuk berlangsungnya suatu rumah tangga  

        Manawa Dharmasastra IX.132 (1978.564) menyatakan bahwa anak wanita boleh diangkat sebagai akhli waris orang tuanya. Dalam sloka 133 berikutnya dinyatakan tidak ada perbedaan antara putra laki dan perempuan yang diangkat statusnya sebagai akhli waris. Dalam hal pembagian harta waris menurut Manawa Dharmasastra IX.118 (Puja.1978.560) menyatakan bahwa wanita mendapatkan minimal seperempat bagian dari masing-masing pembagian saudara lakinya. Kalau saudara lakinya banyak bisa saudara wanitanya lebih banyak mendapat dari saudara lakinya. Tetapi dalam adat istiadat Hindu di Bali wanita itu tidak dapat waris apa lagi ia kawin keluar lingkungan keluarganya. Disamping wanita mendapatkan artha warisan juga mendapatkan pemberian artha jiwa dāna dari ayahnya. Jumlahnya tergantung kerelaan orang tuanya. Sebagai ibu atau Pitri Matta menurut istilah dalam Manawa Dharma II.145 (Puja.1978.104) seribu kali lebih terhormat dari pada ayah. Sedangkan sebagai istri ia setara dengan suaminya. Dalam hal karier menurut Manawa Dharmasastra IX.29 (Puja.1978.535) wanita  dapat memilih sebagai Sadwi atau sebagai Brahmawadini. Kalau sebagai Sadwi artinya wanita itu memilih berkarier dalam rumah tangga sebagai pendidik putra-putranya dan pendamping suami. Karena dalam Vana Parwa 27.214 ibu dan ayah (Mata ca Pita) tergolong guru yang setara. Sedangkan jika sebagai Brahma Vadini. Ia bisa sebagai ilmuwan, politisi, birokrasi, kemiliteran maupun berkarier dalam bidang bisnis. Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi wanita.Itu semua konsep normatifnya kedudukan perempuan menurut pandangan Hindu.
        Dari sudut pandangan ajaran Agama Hindu keduduakan wanita setara dengan laki –laki. Tidak setiap perkawinan mewajibkan wanita harus meninggalkan keluarganya dan ikut keluarga suaminya. Amat tergantung kesepakatan kedua pasang keluarga bersangkutan. Konsep Hindu sesungguhnya tidak mengenal dengan istilah patrilinial dan matrilinial. Hindu mengenal konsep Purusa dan Pradana. Purusa Predana itu bukan berarti laki dan perempuan. Purusa artinya jiwa dan Predana artinya badan atau yang nyata ini berbentuk  fisik. Purusa dan Pradana memilliki pengertian dan dimensi  yang amat luas dalam kontek keluarga Purusa berarti siapa yang menjadi pimpinan terdepan sebagai pemegang keputusan tertinggi atau pemegang tanggung jawab tertinggi dalam keluarga tersebut. Sedangkan Predana dalam hubungannya dengan keluarga ini adalah orang kedua sebagai pimpinan yang  berfungsi untuk bertanggung jawab menjabarkan apa yang telah ditetapkan bersama. Demikianlah aspek formalnya. Dalam kehidupan empiris pada  kenyataanya suami istri senantiasa bekerja sama dalam berbagai tahap kegiatan keluarga. Siapa yang ditetapkan sebagai Purusa dan siapa Predana dalam suatu  perkawinan ditetapkan dalam suatu  musyawarah  kedua keluarga. Hal itu hak prerogatif kedua keluarga tersebut untuk menetapkan suatu “kula acara” atau tradisi keluarga. Aparat Desa sebagai pejabat publik sesungguhnya tidak boleh mencampuri. Aparat publik seperti Kelihan atau Bendesa Adat hanya sebagai saksi untuk  menguatkan keputusan yang disevbut “kula acara” tersebut.

1.3.Perkawinan Pada Gelahang
Dalam masyarakat bali dikenal dua bentuk perkawinan yang sangat menetukan kedudukan suami-istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu di dalam keluara dan pewarisaannya. Secara generalis perkawinan di Bali dikenaal sebagai berikut :
1.      Perkawinan Biasa
Sesuai dengan agamanya, daam hal ini pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keuarga suaminya.
2.      Perkawinan nyeburin
Perkawinan nyeburin adalah perkawianan dimana si wanita ditetapkan berkedudukan sebagai purusa artinya si suami selaku predana, keluar dari rumpun keluarga asalnya mecebur atau terjun serta masuk kedalam lingkungan keluarga istrinya.
Suatu perkawinan untuk dapat disebut perkawinan nyeburin haruslah mengikuti kaedah-kaedah menurut hukum adat bali sebagai berikut :
             i.          Pihak wanita harus bersetatus sentana rejeg artinya wanita yang akan menikah harus ditetapkan sebagai penerus keturunan.
           ii.          Perundingan untuk melakukan perkawinan nyeburin harus dimulai dari pihak orang tua calon istri (yang akan dipurusakan) dengan keluarga calon suami. Tentu saja pendekatan itu yang utama adalah terhadap sang calon suami yang bersangkutan. Bila telah terjadi kesepakatan barulah perkawinan nyeburin dapat dilaksanakan.
         iii.          Upacara perkawinan (pesakapan) yang paling pokok dan merupakan syarat sahnya perkawinan, yaitu upacara mabyakawon / mabyakala, harus dilakukan di rumah pihak istri.
         iv.          Pihak suami harus masuk keluarga pihak istri dan diterima sebagai anggota keluarga pihak istri. Ini artinya pihak suami dari rumpun keluarga asalnya, yang secara konkrit ditunjukan si suami dari semula sudah tinggal dirumah istrinya. Suami tidak lagi memuja (nyungsung sanggah / merajan bapak asalnya, melainkan ia harus memuliakan sanggah / merajan pihak istri).
           v.          Suami berkedudukan sebagai nyentane nyeburun yaitu mempunyai hak sebagai predana (wanita) dan ini ditunjukan dengan adanya pihak istri mengantar sajen-sajen pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga si laki-laki, sebagai upacara melepaskan ikatan si suami dari keluarga asalnya sebagai purusa. 
3.      Perkawinan pada gelahang
Perkawinan pada gelahang atau negen dadua di bali memiliki banyak penamaan yang antara lain :
1.      Perkawinan  pada gelahang, perkawinan  negen dua (Banjar Pohmanis,  Penatih, Denpasar).
2.      Perkawinan mapanak bareng (Banjar Kukup Perean, Tabanan, Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar.).
3.      Perkawinan  negen dadua mapanak bareng (Lingkungan Banjar Kerta Buana, Denpasar, Desa Adat Peguyangan,  Denpasar).
4.      Perkawinan  nadua umah (Kerambitan, Tabanan).
5.      Perkawinan makaro lemah, negen atau negen ayah (Desa Pakraman Gianyar, Gianyar).
6.       Perkawinan magelar warang (Sangsit,Bulelelng dan Melaya, Jemberana).
7.      Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian  tanpa upacara mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan,Denpasar.
8.      Perkawinan “parental”  menurut I Gusti Ketut Kaler (1967).         
9.      Perkawinan makaro lemah atau madua umah menurut Ida Bagus Sudarsana (2003-2004).[1]
Meskipun memiliki penamaan yang berbeda-beda di tiap-tiap daerahnya pada intinya yang dimaksud dengan perkawinan pada gelahang adalah merupakan salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Konsep perkawinan ini dipengaruhi dari berbagai factor, yaitu: calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen.
Menurut Wayan P. Windia yang dimaksud dengan perkawinan pada gelahang adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali,  yang  tidak termasuk  perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma), yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala maupun niskala, dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.[2]
Perkawinan “Pada Gelahang” dapat terjadi apa bila kedua mempelai adalah putra tunggal. Kalau wanita berstatus Predana maka keluarga mempelai wanita tidak ada yang melanjutkan secara tetap dan bertanggung jawab pemujaan leluhurnya dan berbagai hal yang menyangkut kelangsungan kleuarga tersebut. Demikian juga sebaliknya kalau mempelai laki ditetapkan sebagai Predana juga tidak  ada yang melanjutkan berbagai kewajiban keluarga mempelai laki-laki. Karena itu satu-satunya jalan adalah melang sungkan Perkawinan Negeng Dadua. Artinya untuk berlanjutnya keluarga mempelai wanita maka di rumahnya mempelai wanita itu sebagai Purusa dan mempelai laki sebagai Predana. Dengan demikian kedua keluarga tersebut akan sama-sama dapat berlanjut untuk melanjutkan swadharma keluarga kedua belah pihak.[3]
Perkawinan pada gelahang merupakan suatu trobosan baru di dunia perkawinan dan dunia hukum adat bali oleh karena sejatinya perkawinan pada gelahang sendiri tidak diatur baik dalam Veda  Sabda  maupun dalam  Manawadharmasastra. Dalam Buku IX tentang  Atha Nawanodhayayah sloka 132, 133, 134, 135 dan 136 Manawadharmasastra hanya mengatur mengenai pengangkatan wanita menjadi status purusa.[4] Jadi jelas dalam Kitab Suci Manawadharmasastra  tidak ada menguraikan tentang kawin pada gelahang. Namun  di  dalam Kesimpulan Paruman PHDI Propinsi Bali tanggal 29 Desember 2008  memuat beberapa kesimpulan yang direkomendir oleh PHDI Prop. Bali dengan Keputusan Pesamuhan Agung PHDI Nomor 13/Kep/P.A.Parisada/X/2009.
Adapun kesimpulan tersebut terdiri dari :
1.      Perkawinan “negen dadua” adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan Hukum Adat Bali yang tidak termasuk perkawinan biasa (yang dikenal juga dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kaceburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus  kepurusa dirumahnya masing-masing. Sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadharma) yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung awab keluarga suami secara sekala maupun niskala. Menurut agama Hindu dapat dibenarkan sesuai dengan sumber hukum Hindu yang disebut dengan “dharma mulam”, adalah sebagai berikut :
1.      Sruti adalah veda atau wahyu
2.      Smerti adalah penafsiran terhadap wahyu dari orang-orang suci
3.      Sila adalah perilaku orang sadu atau orang baik
4.      Acara adalah Kebiasaan yang baik yang sudah diyakini benar oleh masyarakat.
5.      Atmanastuti adalah tingkah laku yang baik dan telah memberikan kepuasan atau kebahagiaan pada diri sendiri.
2.      Perkawinan  “negen dadua” di setiap tempat / wilayah di Propinsi Bali  mempunyai nama yang berbeda. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali, 2008, telah ditemukan beberapa nama adalah Perkawinan pada gelahang, Perkawinan mepanak bareng, Perkawinan nadua umah, Perkawinan mekaro lemah, Negen atau negen ayah, Perkawinan magelar warang,, Perkawinan parental, Perkawinan mekaro lemah atau Madue umah, Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit.
3.      Masalah jumlah masyarakat yang melaksanakan perkawinan “negen dadua” menurut hasil penelitian diseluruh Kabupaten di Bali telah ditemukan sejumlah 28 pasangan, bahkan mungkin lebih. Karena banyak masyarakat yang  tidak mau perkawinan “negen dadua” yang telah dilakukannya dipublikasikan.
4.      Dalam paruman walaka telah dibahas dan kemudian disimpulkan bahwa karena banyak masyarakat di Bali yang telah melakukan perkawinan “negen dadua” atau dengan berbagai istilah lainnya dan oleh karena sudah memiliki Landasan agama Hindu. Maka perkawinan “negen dadua” menurut hukum Hindu dapat dibenarkan atau tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu.
5.      Perkawinan “negen dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari perkawinan “negen dadua”  telah memunculkan hak anak / anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak mewaris dari orang tuanya. Sehingga merupakan sebuah penghargaan terhadap hukum hak azasi manusia, khususnya terhadap anak / anak-anak yang lahir perempuan.
6.      Sebagai syarat sahnya perkawinan “negen dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa proses agama hindu  dan adat Bali, yaitu :
a)      Sudah dilangsungkan upacara pabiyakaonan,
b)      Tidak dilakukan upacara mepamit,
c)      Sudah disepakati oleh mempelai, Orang tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak).
7.      Akibat yang ditimbulkan dari dilangsungkannya perkawinan ”negen dadua” adalah mempelai perempuan berstatus purusa, sehingga merupakan pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya. Begitu juga mempelai laki-laki tetap berstatus purusa atau pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya.
8.      Anak/anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan “negen dadua” hadapannya dengan status kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan hak (swadikara) dan atau hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat (pasidikaran) akan ditentukan sesuai kesepakatan.
Jika disebutkan, bahwa perkawinan “pada gelahang” dapat dibenarkan  karena  tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu sebagaimana kesimpulan pada poin 4 diatas,  kiranya perlu lebih dipertegas mengenai ajaran agama Hindu yang mana. Salah satu contoh dari pijakan Manawadharmasastra Buku III sloka 11 “Yasyastuna bhawes bratana, wijnayeta wa pita, nopayacchetatam prajnah, putrika dharma cangkaya”, bahwa kurang bijaksana mengawini wanita yang tidak mempunyai saudara laki-laki.  Hal ini dikhawatirkan kalau-kalau wanita itu statusnya telah diangkat kestatus  laki-laki (putrika), sehingga  dalam konteks ini akan berlaku ketentuan “matriarhat”. Sedangkan sampai saat ini ketentuan yang berlaku baik dalam perkawinan biasa maupun perkawinan nyentana  adalah  ketentuan “patriarhat”.
Bila agama berbicara tentang topik-topik moral pada umumnya agama akan berkotbah, artinya agama berusaha memberi  motivasi dan inspirasi supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang telah diterimanya berdasarkan iman. Jika filsafat bicara tentang topik-topik moral, filsafat akan berargumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-alasan rasional.
Moral  memang sangat erat kaitannya dengan agama, begitu juga  dengan hukum. Baik hukum maupun moral mengatur  tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja. Sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas sebagaimana ditekankan Immmanuel Kant, yang dikutip K.Bertens, bahwa hukum hanya meminta legalitas, artinya kita memenuhi hukum jika tingkah laku lahiriah sesuai dengan hukum. Sikap bathin dalam hal itu  tidak penting, karena niat bathin tidak termasuk jangkauan hukum. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara. Hukum adat, kita tahu tidak secara langsung berasal dari Negara, namun hukum adat  harus diakui oleh Negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah moral tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak. Seperti  juga setiap individu, masyarakatpun harus mematuhi norma moral.
Bagaimana tentang  hak dan kewajiban sebagai akibat kawin pada gelahang. Seharusnya dibedakan secara tegas antara hak legal dan hak moral. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Dengan demikian hak-hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya. Dengan kata lain bahwa hak legal didasarkan atas prinsip hukum.
Jika  hak legal berfungsi dalam sistim hukum, maka hak moral berfungsi dalam sistim moral. Dengan kata lain baik di dalam hak maupun kewajiban  terkaper sebuah tanggung jawab (responsibity) dalam tindak sosial. Artinya tanggungjawab disini adalah tanggung jawab bertindak (responsibility of act) yang dilandasi cara-cara yang dapat dijustifikasi secara normatif. Dalam konteks ketika pelaksanaan kawin pada gelahang  salah satu syarat untuk sahnya perkawinan itu “tidak melakukan upacara mepamit”. Syarat ini seakan-akan masih terselubung menyimpan sesuatu unthinkable (yang tak terpikirkan), unimaginable (tak terbayangkan), dan  unrepresentable (tak terepresentasikan), sehingga persyaratan itu ibarat kendaraan yang membawa masuk kedalam keliaran imajinasi dan fantasi, ke dalam teritorial-teritorial yang melampaui batas tabu, moral dan spiritualitas.
Kenyataannya dalam konstelasi sosial agama Hindu justru dengan “mepamit”(penyangaskara), sesudah upacara pebiyakaonan (bhuta yadnya) mempelai diajak ke mrajan sembahyang “mohon restu” kepada  Bhetara Hyang Guru dan para leluhur sekaligus nunas tirtha yang akan di kukuhkan (keadegang) sebagai saksi niskala tatkala upacara “widhi widana”. Jika prosesi  ini tidak ada berarti “Tri kang sinengguh saksi” menjadi kurang yaitu Dewa Saksinya. Oleh karena itu masih perlu diberikan penjelasan dan argumentasi mengapa upacara mepamit itu tidak diperlukan pada kawin pada gelahang.


[1] Wayan P. Windia, Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Disajikan dalam seminar  hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada  tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

[2] ibid.

[3] I Ketut Wiana, Perkawinan Pada Gelahang Ditinjau Dari Ajaran Agama Hindu, Disajikan dalam seminar  hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada    tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

[4] I Made Suandhi, Komentar Terhadap Kawin Pada Gelahang, Disajikan dalam seminar  hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada  tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

Senin, 12 Maret 2012

PELAKSANAAN PRINSIP MIRANDA RULE (PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM) DALAM PRAKTEK HUKUM DI BALI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (recht staats)[1] dan bukan berdasarkan atas kekuasan belaka (maacht staats). Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga yang menyatakan :
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”
Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan Philipus M Hadjhon, bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia tidaklah lepas dari ide dasar tentang “Rechtsstaat”.
Syarat – syarat dasar Rechsstaat :
1.      Asas legalitas : setiap tindakan pemerintah harus di dasarkan atas dasar peraturan perundang – undangan (wettelijke grondslag). Dengan landasan ini, Undang – Undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Dalam hubungan ini pembentuk Undang - Undang merupakan bagian penting dari Negara Hukum.
2.      Pembagian kekuasaan : syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3.      Hak – hak dasar (grondrechten) : hak – hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang- Undang
4.      Pengawasan peradilan  : bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan (rechtmatigheids toetsing)”.[2]
Selanjutnya menurut Ismail Suny mengatakan bahwa Negara Hukum Indonesia memuat unsur – unsur sebagai berikut :
1.      Menjungjung Tinggi Hukum.
2.      Adanya Pembagian Kekuasaan.
3.      Adanya Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia.
4.      Di Mungkinkannya Adanya Peradilan Administrasi.
Dari uraian diatas Nampak jelas bahwa suatu Negara hukum harus melindungi hak asasi setiap warga negaranya, tak terkecuali warga negaranya yang telah melakukan kesalahan. Dalam hal ini tersangka / terdakwa berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak asasinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf  D ayat (1) dan Pasal 28 Huruf  I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen). Selain itu KUHAP juga turut memberikan pembelaan mengenai hak konstitusional tersangka yakni hak untuk pembelaan secara dini.
Hak pembelaan secara dini adalah hak yang diberikan kepada tersangka / terdakwa untuk didampingi penasehat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.[3]  Hak ini merupakan pengapdosian dari prinsip Miranda principle atau Miranda rule yang berlaku universal di hampir semua Negara yang berdasarkan hukum.
Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana / kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik / instansi yang berwenang.[4] Di Indonesia pengaturan  mengenai Miranda rule telah diatur kedalam system Hukum Acara Pidana, sebagaimana terdapat dalam pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP.
Seperti apa yang telah disebutkan diatas bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan prinsip Miranda rule adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair / jujur dan manusiawi terhadap diri tersangka / terdakwa, sebab dengan hadirnya penasehat hUkum mendampingi tersangka / terdakwa pada pemeriksaan penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan, berperan melakukan kontrol sehingga pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan, dan kekejaman[5] yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses pradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia (Pasal 33 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (4)  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Meskipun sudah diatur dalam hukum positif di Indonesia namun dalam realitanya masalah penerapan Miranda rule selama ini masih sangatlah riskan dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, menurut M. Sofyan Lubis lebih kurang 80% perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tersangkanya disidik tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Misalnya dalam perkara yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih ternyata banyak tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi oleh penasehat  hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 115 KUHAP. Pada kenyataannya, terhadap pelanggaran ini pengadilan masih tetap bersikap toleran dengan alasan “melindungi kepentingan umum” dan tidak sedikit hakim sering “menutup mata” terhadap pelanggaran pasal 56 ayat (1) KUHAP ini.

1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana hukum positif Indonesia mengatur mengenai  penerapan  prinsip Miranda rule ?
2.      Bagaimana pelaksanaan prinsip Miranda rule dalam praktek hukum di Bali ?

1.3.            Tinjauan Pustaka
Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana / kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik / instansi yang berwenang.[6]
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Miranda rule adalah hak tersangka / terdakwa untuk memperoleh penasehat hukum / bantuan hukum. Ketentuan ini kemudian diakomodasi kedalam berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia, antara lain : Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentan hak Asasi Manusia (diatur dalam Pasal 5 ayat (2), dan pasal 18 ayat (4)), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (diatur dalam Bab VII : Pasal 69 sampai dengan Pasal 74), Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (diatur dalam Bab VI : Pasal 22 ayat (1) dan (2)), dan juga Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (diatur dalam Bab XI : Pasal 56 sampai dengan Pasal 57), serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatnnya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP), sedangkan terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15).
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seorang tersangka / terdakwa tidak sebegitu saja dapat diperlakukan sebagai objek pemerasan, penganiayaan, maupun dicopoti dan ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya. Sebagai perisai untuk membela dan mempertahankan hak asasi dan harkat martabat kemanusiaan tersangka / terdakwa KUHAP telah memberikan seperangkat hak bagi tersangka / terdakwa yang wajib diberitahukan, hak tersebut berupa hak untuk didampingi penasehat hukum dan mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan guna kepentingan pembelaan atas dirinya.
Bantuan hukum adalah pelayanan hukum (legal service) yang diberikan oleh Penasehat Hukum dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi tersangka / terdakwa sejak ia ditangkap / ditahan sampai dengan diperolehnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Jadi “yang dibela dan diberi perlindungan hukum bukan kesalahan tersangka / terdakwa”, melainkan “hak-hak asasi dari tersangka / terdakwa agar terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum”.[7] Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan UUKK (Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) pemberian bantuan hukum hanya dapat diberikan oleh Penasehat Hukum, dan tidak setiap orang dapat bertindak sebagai Penasehat Hukum.[8]
Penasehat Hukum adalah orang yang mempunyai pekerjaan memberikan nasehat hukum.[9] Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 13 KUHAP Penasehat Hukum adalah seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.            Analisis
Suatu Negara hukum, baik yang berkembang di Negara-negara Eropa Continental maupun Negara-negara Anglo Saxon, memiliki “basic requirement”, pengakuan jaminan hak-hak dasar manusia yang dijunjung tinggi. hak-hak dasar ini pula juga dimiliki oleh tersangka / terdakwa sebagaimana perlindungan hak yang diberikan oleh pasal 56 ayat (1) KUHAP yang lebih dikenal  dengan hak konstitusional dari tersangka / terdakwa.
Di Indonesia, hak konstitusional tersangka / terdakwa merupakan hasil dari pengadopsian prinsip Miranda rule yang berkembang di Negara Amerika Serikat yang berawal dari kasus Ernesto Miranda, selain itu pengadopsian ini juga dilatar belakangi oleh turut sertanya Indonesia dalam meratifikasi “Universal Declaration of Human Right”. Sebagai Negara hukum, terlebih sebagai Negara yang ikut dalam meratifikasi Universal Declaration of Human Right, maka Indonesia berkewajiban untuk melindungi hak-hak konstitusional tersangka / terdakwa tersebut kedalam hukum positif / peraturan perundang-undangan.
Namun relitanya di lapangan bahwa perlindungan terhadap prinsip Miranda rule tersebut hanya bersifat formalitas belaka, terbukti dalam praktek hukum di Bali banyak perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ternyata tersangkanya disidik tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Misalnya dalam perkara yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih ternyata banyak tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi oleh penasehat  hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 115 KUHAP.
Hal ini tidaklah sejalan dengan apa yang di harapkan oleh para pembentuk KUHAP, yakni memberikan perlindungan bagi semua orang yang disangka / di dakwa melalui seperngakat hak-hak konstitusionalnya dalam hal ini hak untuk didampingi penasehat hukum dan mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan.

2.1.1.      Pengaturan mengenai  penerapan  prinsip Miranda rule dalam hukum positif Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penerapan dan perlindungan terhadap prinsip Miranda rule dalam hukum positif di Indonesia telah diatur kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut : 
1.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 
o   Hak tersangka guna kepentingan pembelaannya untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum (Pasal 54) ;
o   Hak tersangka untuk memilih sendiri penasehat hukumnya (Pasal 55) ;
o   Hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam hal tesangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih tidak mempunyai penashat hukumnya  sendiri (Pasal 56 ayat (1)) ;
o   Hak tersangka untuk mendapat bantuan  hukum  secara  cuma-cuma (Pasal 56 ayat (2)).
2.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; [10]
o   Hak untuk dianggap sama didepan hukum (Pasal 17 UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif (Pasal 5 ayat (2) UU HAM) ;
o   Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil ;
o   Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh hakim (Pasal 18 ayat (1) UU HAM) ;
o   Hak untuk dituntut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 18 ayat (2) UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling menguntungkan tersangka jika terjadi perubahan aturan hukum (Pasal 18 ayat (3) UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat (4) UU HAM) ;
o   Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang telah ada sebelumnya (Pasal 18 ayat (2) UU HAM) ;
o   Hak untuk tidak dituntut untu kedua kalinya dalam kasus yang sama (Pasal 18 ayat (5) UU HAM) ;
o   Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 18 ayat (1) UU HAM).
3.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
o   Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 22 ayat (1) UU Advokat).
§  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
o   Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (Pasal 56 ayat (1) UU KK) ;
o   Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum (Pasal 57 ayat (1) UU KK).
Namun perlu ditelaah kembali bahwa ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP menurut Frans Hendra Winata mengandung berbagai permasalahan  karena “meski hak untuk mendapatkan bantuan ini terkait sangat erat dengan tercapainya suatu proses hukum yang adil dan guna menghindari terjadinya proses yang sewenang-wenang, namun ternyata tidak semua anggota masyarakat dapat menikmatinya, terutama yang miskin, sebab mereka tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat profesional”.[11]
Jika tinjau secara tegas (strict) dan imperatife pasal 56 ayat (1) KUHP mengandung berbagai aspek permasalahan  hukum,  antara lain :
1.      Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM)
Setiap tersangka / terdakwa berhak di damping penasehat hukum dalam rangka tingkat pemeriksaan, hal ini sesuai dengan deklarasi universal HAM yang menegaskan hadirnya Penasehat Hukum mendampingi tersangka / terdakwa merupakan nilai inherent pada diri manusia. Dengan demikian mengabaikan hal ini bertentangan dengan nilai HAM.
2.      Pemenuhan hak ini dalam proses peradilan pidana semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban dari pejabat yang bertugas, apabila tindak pidana yang dituduhkan / didakwakan :
o   Diancam dengan pidana mati / 15 tahun ; atau
o   Bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum, maka pejabat yang bersangkutan dalam semua tingkat pemeriksaan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
3.      Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule. Apabila pemeriksaan penyidikan, penuntutan atau persidangan tersangka / terdakwa tidak didampingi penasehat hukum maka sesuai dengan asas Miranda rule, pemeriksaan tersebut tidak sah / batal demi hukum (null and void). karena bertentangan dengan hukum acara (undue process) ; Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 365 (4) KUHP.
Dari berbagai peraturan yang ada, dapat ditarik maksud dari pengaturan hukum positif Indonesia mengenai prinsip Miranda rule yakni seorang yang telah disangka / didakwa melakukan kesalahan mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum, hal ini  dianggap perlu karena tersangka / terdakwa wajib diberi perlindungan yang sewajarnya.

2.1.2.      Pelaksanaan prinsip Miranda rule dalam praktek hukum di Bali.
Di dalam praktek / realita di lapangan bahwa pelaksanaa prinsip Miranda Rule tidak seperti yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang maupun oleh hukum positif Indonesia, pelanggaran terhadap prinsip Miranda rule di Indonesia sering dilakukan oleh para penegak hukum. Diantaranya seperti :[12]
1.      Di Kepolisian / Instansi Penyidikan
o   Banyak oknum menangkap tersangka dan kemudian di tempat kejadian tersebut tersangka langsung ditanya / diinterogasi, tanpa terlebih dahulu mengingatkan akan hak-haknya sebagai tersangka (Miranda warning) ;
o   Dengan dalih tersangka tidak punya uang dan hak asasi tersangka, banyak oknum polisi menganjurkan supaya tersangka tidak usah menggunakan Penasehat Hukum, dan tersangka dikondisikan sedemikian rupa dengan membuatkannya surat pernytaan tidak bersedia didampingi Penasehat Hukum, dan tidak sedikit dari kalangan penyidik beranggapan bahwa dengan adanya pernyataan dari tersangka yang tidak bersedia didampingi Penasehat Hukum merupakan hak asasi tersangka sehingga penyidik tidak merasa perlu lagi menunaikan kewajibannya untuk menunjuk Penasehat Hukum bagi tersangka sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
o   Dengan dalih untuk mempelancar proses penyidikan, banyak oknum polisi berupaya agar setiap tersangka sebaiknya tidak menggunakan Penasehat Hukum / advokat ;
o   Dengan dalih tidak ada Penasehat Hukum yang mau ditunjuk secara gratis untuk mendampingi tersangka, maka banyak penyidik mengabaikan kewajiabnnya seperti diamanakan dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
2.      Di Tingkat Kejaksaan
o   Dengan dalih sudah tidak dilakukan pemeriksaan lagi, maka banyak oknum jaksa penuntut umum tidak perlu menunjuk penasehat hukum guna mendampingi tersangka ;
o   Dengan dalih sudah ada surat pernyataan tidak bersedia didampingi penasehat hukum yang di buat di tingkat penyidikan maka ketentuan pasal 56 ayat (1) dianggap sudah terpenuhi ;
3.      Di Tingkat Sidang Pengadilan
o   Dengan dalih masih terjadinya kontroversi perihal penerapan pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hakim bebas untuk mengikuti pendapat yang mana saja ;
o   Dengan dalih undang-undang belum mengatur secara tegas, maka hakim berwenang untuk memutuskan sesuai dengan hati nuraninya ;
o   Dengan dalih demi kepentingan umum, maka hak-hak terdakwa dapat dikesampingkan ;
o   Tidak ada anggaran khusus dari institusi Pengadilan yang bersangkutan untuk menyediakan Penasehat Hukum bagi terdakwa ;
o   Hakim menggunakan haknya untuk tidak dipersalahkan atau dituntut atas kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Hal senada juga dikatakan oleh Warsa T. Bhuwana[13] sebagai Advokat senior di Bali, pelanggaran terhadap prinsip Miranda rule yang terjadi di Bali adalah sebagai berikut :
1.      Di Kepolisian / Instansi Penyidikan
o   Beberapa oknum penyidik sering mengiintograsi tersangka tanpa terlebih dahulu diberitahukan  mengenai hak-haknya untuk di damping penasehat hukum hingga statusnya ditetapkan sebagai tersangka kemudian langsung ditahan (Miranda warning) ;
o   Beberapa oknum Polisi (dalam hal ini penyidik) memandang dalam menangani kasus pidana justru apriori untuk di damping penasehat hukum, sehingga menyarankan tersangka / terdakwa agar tidak menggunakan penasehat hukum, dengan dalih penasehat hukum di anggap tidak membela kepentingan tersangka / terdakwa karena sifatnya yang pasif dalam proses penyidikan ;
o   Beberapa oknum Penyidik sering menentukan sendiri penasehat hukum untuk mendampingi tersangka / terdakwa agar penyidik bisa bermain dengan penasehat hukum yang ditunjuk penyidik untuk memeras tersangka / terdakwa melalui pasal-pasal yang akan digunakan menjerat terdakwa / terdakwa ;
o   Penasehat hukum tidak dipandang sebagai mitra yang membantu mempelancarkan proses penyidikan dalam upaya untuk mencari kebenaraan materiil.
2.      Di Tingkat Kejaksaan
o   Beberapa oknum penyidik kejaksaan sering mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh tersangka (dalam  hal ini hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum), terutama dalam kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh kejaksaan (Miranda warning).
 3.      Di Tingkat Sidang Pengadilan
o   Hakim menggunakan  haknya untuk tidak dipersalahkan atau dituntut atas kelalaiannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara ;
o   Demi kepentingan umum hakim sering mengkesampingkan hak terdakwa.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut manurut Advokat Warsa T. Bhuwana umumnya terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :
o   Kurangnya pengetahuan penyidik tentang maksud dan tujuan penyidikan serta hak-hak tersangka / adanya kesalahan dalam menafsirkan pasal 56 ayat (1) KUHAP ;
o   Adanya unsur kesengajaan dari oknum pejabat penegak hukum, “ada kepentingan”.
Sehingga berdasarkan data-data yang penulis dapatkan, bahwa pelaksanaan prinsip Miranda rule di Bali masih jauh dari harapan apalagi sempurna. Hal tersebut diakibatkan karena miskinnya moral para penegak hukum dalam menghormati prinsip Miranda rule.

BAB III
PENUTUP

3.1.              Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan yaitu:
o   Prinsip Miranda rule yang berlaku dalam hukum positf di Indonesia baru mengakomodasi dua buah prinsip, yaitu yang pertama prinsip bahwa seorang tersangka /terdakwa berhak mendapat bantuan hukum, dan yang kedua jika tersangka tidak mampu maka penyidik wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
o   Pelaksanaan Prinsip Miranda rule di Bali masih jauh dari harapan diakibatkan dari beberapa faktor, antara lain :
-          Faktor Penegak Hukum : Kurangnya kesadaran penyidik / penegak hukum tentang prinsip Miranda rule / pendampingan penasehat hukum ;
-          Faktor Masyarakat : Masih minimnya pengetahuan masyarakat (dalam hal ini tersangka / terdakwa) tentang hukum khususnya mengenai prinsip Miranda rule.



[1] Rechtsstaat merupakan konsep Negara hukum yang sama dengan welvaarstaat. Welvaarstaat disebut juga social-service-state ialah Negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kepentingan umum dengan melalui saluran hukum atau tidak melalui saluran hukum tetapi tidak secara sewenang-wenang. Djokosutomo, Kuliah Ilmu Negara, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 52-53.

[2] Philipus.M Hadjhon,Negara Hukum dan Hak – hak Dasar ( Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga 1995), Hal. 4
[3] M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permaalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan: Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 2

[4] M. Sofyan Lubis, 2010, Prinsip Miranda Rule: Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan:Jangan samapai Anda Menjadi Korban Peradilan, Jakarta, PT. Pusaka Buku, Hal. 15.

[5] M. Yahya Harahap, op. cit. Hal. 339
[6] M. Sofyan Lubis, loc. cit.

[7] H.M.A. Kuffal, 2002, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, Malang, UMM Press, Hal. 89.

[8] Ibid, hal. 89-90.

[9]M. Sofyan Lubis, op. cit. Hal. 3.

[10] Ibid, Hal. 11.

[11] Frans Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta, Gramedia, Hal. 63.
[12] M. Sofyan Lubis, op. cit., Hal. 41-43.

[13] Wawancara penulis dengan Advokat Warsa T. Bhuwana pada tanggal 20 Desember 2010, di Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Warsa T. Bhuwana & Associates, Jln. Sekar Tunjung  XII-167 Gatot Subroto Timur, Kota Denpasar.