1.1.Pendahuluan
Kawin “pada gelahang” secara faktual
eksistensinya sudah berlangsung sejak
tahun 1945 sebagaimana dikemukakan dalam
hasil penelitian Wayan P. Windia, Dkk. Sebagai terminologi, periodisasi, isi
gagasan tampaknya masih menjadi problema dan menyandang muatan kontroversi.
Namun hal tersebut tidak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi
yang ditawarkan oleh perkawinan pada
gelahang itu.
Sebagai trend, kawin pada gelahang
sudah sejak kemunculannya diwadahi dalam berbagai kemasan ritual terlebih dilegalisasi desa mawacara, maka kawin pada gelahang secara substansi justru
berkembang biak hingga kini,
ibarat sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bahkan dari sudut ini
substansi kawin pada gelahang sepertinya baru lahir dan berkembang. Tak
berlebihan hampir disegala lini wacana,
mulai agama, adat, sosial, moral, hukum,
filsafat sampai teologi menuai berhamburan kerangka-kerangka pikir
baru yang hanya dapat dimengerti jika kita memahami segala isu yang bermula
dilemparkan oleh fenomen kawin pada
gelahang.
Sebagai suatu peringatan ketika kita
review terhadap pemahaman konsep kawin pada gelahang kita memang mudah terjebak ke dalam berbagai
kerancuan perspektif, terutama jika kita hendak amat risih membuat
batasan-batasaan tegas yang memisahkan antara kawin pada gelahang, kawin biasa, dan kawin nyentana. Mungkin saja secara karikatoris
kawin pada gelahang mudah bercampur baur dengan substansi isinya yang sangat
kompleks. Kawin pada gelahang dalam perspektif etika (moralitas) kerap tumpang
tindih dengan kawin pada gelahang dalam perspektif filosofis. Yang pertama
bicara tentang harmonisasi korelasi Tri Hita Karana dengan pembabakan
tersendiri, yang kedua bicara tentang perubahan kerangka dasar pemikiran dengan
pembabakannya yang karakeristik pula. Belum lagi pada pembicaraan fenomena
kultural menyebabkan antara kulturkritik dan ideologikritik saling
berbantahan/berbenturan.
Namun apapun label yang kita gunakan,
setidak-tidaknya realita kawin pada
gelahang yang berkembang telah membukakan persoalan-persoalan mendasar dan
paradigmatik dalam peradaban manusia
(umat hindu) diabad reformasi kini. Pakar Hukum Adat seperti Wayan P. Windia dkk misalnya telah
membantu menegaskan secara populer relativitas dan sisi ideologis dunia hukum
adat kita.
1.2.Perkawinan
Menurut Hindu
Menurut
ketentuan pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
dimaksud “Perkawinan adalah hubungan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membangun rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa Pasal. Selanjutnya pasal 2
nya menegaskan bahwa “syahnya suatu perkawinan berdasarkan hukum Agamanya
masing-masing”.
Dalam
ajaran agama hindu tujuan perkawinan secara ekplisit tertuang dalam Veda
Sabda Suci Pedoman Praktis
Kehidupan pada romawi VII. 7.8.3.1
tentang Perkawinan (Vivaha) hanya
menyebutkan tujuan perkawinan itu meliputi
dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), Praja
(melahirkan keturunan), dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan
indria lainnya). Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma.
(Titib,1996:394).
Perkawinan
dalam Manawa Dharmasastra IX,45 (Puja.1978.540) tersebut ada
dinyatakan bahwa istri itu tunggal dengan suaminya. Ini artinya kedudukan wanita dan
laki-laki adalah setara dan sangat utama dalam pandangan Agama Hindu. Karena
itu dalam Rgveda laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut
dengan satu istilah yaitu Dampati
artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa Bali disebut “dempet”. Demikian
juga adanya istilah suami dan istri. Kalau orang disebut istri sudah termasuk
didalamnya pengertian suami. Kalau ada perempuan yang sudah disebut sebagai
istri sudah dapat dipastikan ada suaminya. Karena kalau ada perempuan yang
belum bersuami tidak mungkin dia disebut istri. Demikian juga kalau ada
laki-laki disebut sebagai suami sudah dapat dipastikan ada istrinya. Tidak ada
laki-laki yang bujangan disebut suami. Mereka disebut suami dan istri karena
mereka sejajar tetapi beda fungsi dalam rumah tangga. Kata suami dalam bahasa
sansekerta artinya master, lord, dominion
atau pemimpin. Sedangkan kata istri berasal
dari bahasa sansekerta dari akar kata “str “ artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata
wanita juga berasal dari bahasa sansekerta dari asal kata “van” artinya to be love
(yang dikasihi). Hal itulah yang menyebabkan wanita setelah menjadi istri
kewajibanya menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarga. Dalam Mahabharata
Resi Bisma menyatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta
kebahagiaan. Karena itu Rahvana yang menghina Dewi Sita dan Duryudana yang
menghina Dewi Drupadi, kedua-duanya menjadi raja yang terhina. Dalam Manawa
Dharmasastra III.56 (Puja.1978.146) ada dinyatakan bahwa dimana wanita itu
dihormati disanalah para Dewa akan melimpahkan karunia kebahagiaan dengan
senang hati. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada Upacara Yadnya apapun yang
memberi pahala kemuliaan.
Yatra nậryastu
pὐjyante
Ramante tatra
dewatah
yatraitậstu na
pὐjyante
sarvậstatra
phalậh kriyậh(Manawa Dharmasastra III.56)
Artinya :
Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa senang
dan melimpahkan anugrahnya.Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci
apapun yang memberikan pahala mulia.Istri dalam rumah tangga memiliki peran yang amat utama untuk berlangsungnya
suatu rumah tangga
Manawa Dharmasastra IX.132 (1978.564)
menyatakan bahwa anak wanita boleh diangkat sebagai akhli waris orang tuanya.
Dalam sloka 133 berikutnya dinyatakan tidak ada perbedaan antara putra laki dan
perempuan yang diangkat statusnya sebagai akhli waris. Dalam hal pembagian
harta waris menurut Manawa Dharmasastra IX.118 (Puja.1978.560) menyatakan bahwa
wanita mendapatkan minimal seperempat bagian dari masing-masing pembagian
saudara lakinya. Kalau saudara lakinya banyak bisa saudara wanitanya lebih banyak
mendapat dari saudara lakinya. Tetapi dalam adat istiadat Hindu di Bali wanita
itu tidak dapat waris apa lagi ia kawin keluar lingkungan keluarganya. Disamping
wanita mendapatkan artha warisan juga mendapatkan pemberian artha jiwa dāna
dari ayahnya. Jumlahnya tergantung kerelaan orang tuanya. Sebagai ibu atau
Pitri Matta menurut istilah dalam Manawa Dharma II.145 (Puja.1978.104) seribu
kali lebih terhormat dari pada ayah. Sedangkan sebagai istri ia setara dengan
suaminya. Dalam hal karier menurut Manawa Dharmasastra IX.29 (Puja.1978.535)
wanita dapat memilih sebagai Sadwi atau sebagai Brahmawadini. Kalau sebagai Sadwi artinya wanita itu memilih
berkarier dalam rumah tangga sebagai pendidik putra-putranya dan pendamping
suami. Karena dalam Vana Parwa 27.214 ibu dan ayah (Mata ca Pita) tergolong
guru yang setara. Sedangkan jika sebagai Brahma
Vadini. Ia bisa sebagai ilmuwan, politisi, birokrasi, kemiliteran maupun
berkarier dalam bidang bisnis. Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi
wanita.Itu semua konsep normatifnya kedudukan perempuan menurut pandangan
Hindu.
Dari sudut pandangan ajaran Agama Hindu
keduduakan wanita setara dengan laki –laki. Tidak setiap perkawinan mewajibkan
wanita harus meninggalkan keluarganya dan ikut keluarga suaminya. Amat
tergantung kesepakatan kedua pasang keluarga bersangkutan. Konsep Hindu
sesungguhnya tidak mengenal dengan istilah patrilinial
dan matrilinial. Hindu mengenal
konsep Purusa dan Pradana. Purusa Predana itu bukan berarti laki dan perempuan.
Purusa artinya jiwa dan Predana artinya badan atau yang nyata ini
berbentuk fisik. Purusa dan Pradana
memilliki pengertian dan dimensi yang
amat luas dalam kontek keluarga Purusa berarti siapa yang menjadi pimpinan
terdepan sebagai pemegang keputusan tertinggi atau pemegang tanggung jawab
tertinggi dalam keluarga tersebut. Sedangkan Predana dalam hubungannya dengan
keluarga ini adalah orang kedua sebagai pimpinan yang berfungsi untuk bertanggung jawab menjabarkan
apa yang telah ditetapkan bersama. Demikianlah aspek formalnya. Dalam kehidupan
empiris pada kenyataanya suami istri
senantiasa bekerja sama dalam berbagai tahap kegiatan keluarga. Siapa yang
ditetapkan sebagai Purusa dan siapa Predana dalam suatu perkawinan ditetapkan dalam suatu musyawarah
kedua keluarga. Hal itu hak prerogatif kedua keluarga tersebut untuk
menetapkan suatu “kula acara” atau tradisi keluarga. Aparat Desa sebagai
pejabat publik sesungguhnya tidak boleh mencampuri. Aparat publik seperti
Kelihan atau Bendesa Adat hanya sebagai saksi untuk menguatkan keputusan yang disevbut “kula acara” tersebut.
1.3.Perkawinan
Pada Gelahang
Dalam masyarakat bali
dikenal dua bentuk perkawinan yang sangat menetukan kedudukan suami-istri dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan itu di dalam keluara dan pewarisaannya.
Secara generalis perkawinan di Bali dikenaal sebagai berikut :
1. Perkawinan
Biasa
Sesuai dengan agamanya, daam hal ini pihak wanita meninggalkan
keluarganya dan masuk menjadi anggota keuarga suaminya.
2.
Perkawinan
nyeburin
Perkawinan nyeburin adalah perkawianan
dimana si wanita ditetapkan berkedudukan sebagai purusa artinya si suami selaku
predana, keluar dari rumpun keluarga asalnya mecebur atau terjun serta masuk
kedalam lingkungan keluarga istrinya.
Suatu perkawinan untuk dapat disebut
perkawinan nyeburin haruslah mengikuti kaedah-kaedah menurut hukum adat bali
sebagai berikut :
i.
Pihak wanita harus bersetatus sentana
rejeg artinya wanita yang akan menikah harus ditetapkan sebagai penerus
keturunan.
ii.
Perundingan untuk melakukan perkawinan
nyeburin harus dimulai dari pihak orang tua calon istri (yang akan dipurusakan)
dengan keluarga calon suami. Tentu saja pendekatan itu yang utama adalah
terhadap sang calon suami yang bersangkutan. Bila telah terjadi kesepakatan
barulah perkawinan nyeburin dapat dilaksanakan.
iii.
Upacara perkawinan (pesakapan) yang
paling pokok dan merupakan syarat sahnya perkawinan, yaitu upacara mabyakawon /
mabyakala, harus dilakukan di rumah pihak istri.
iv.
Pihak suami harus masuk keluarga pihak
istri dan diterima sebagai anggota keluarga pihak istri. Ini artinya pihak
suami dari rumpun keluarga asalnya, yang secara konkrit ditunjukan si suami
dari semula sudah tinggal dirumah istrinya. Suami tidak lagi memuja (nyungsung
sanggah / merajan bapak asalnya, melainkan ia harus memuliakan sanggah /
merajan pihak istri).
v.
Suami berkedudukan sebagai nyentane
nyeburun yaitu mempunyai hak sebagai predana (wanita) dan ini ditunjukan dengan
adanya pihak istri mengantar sajen-sajen pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga
si laki-laki, sebagai upacara melepaskan ikatan si suami dari keluarga asalnya
sebagai purusa.
3.
Perkawinan
pada gelahang
Perkawinan pada gelahang atau negen
dadua di bali memiliki banyak penamaan yang antara lain :
1.
Perkawinan pada gelahang, perkawinan negen dua (Banjar Pohmanis, Penatih, Denpasar).
2.
Perkawinan mapanak
bareng (Banjar Kukup Perean, Tabanan, Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar.).
3.
Perkawinan negen dadua mapanak bareng (Lingkungan Banjar Kerta Buana, Denpasar, Desa
Adat Peguyangan, Denpasar).
4.
Perkawinan nadua umah (Kerambitan, Tabanan).
5.
Perkawinan makaro lemah,
negen atau negen ayah (Desa Pakraman
Gianyar,
Gianyar).
6.
Perkawinan magelar warang (Sangsit,Bulelelng dan Melaya, Jemberana).
7.
Perkawinan
nyentana (nyeburin) dengan perjanjian
tanpa upacara mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan,Denpasar.
8.
Perkawinan
“parental” menurut I Gusti Ketut Kaler
(1967).
Meskipun memiliki penamaan yang
berbeda-beda di tiap-tiap daerahnya pada intinya yang dimaksud dengan perkawinan
pada gelahang adalah merupakan salah satu sistem perkawinan di Bali yang
berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa.
Konsep perkawinan ini dipengaruhi dari berbagai factor, yaitu: calon istri
merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya
terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata
wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam
desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya
istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan
Gelahang Bareng/Negen.
Menurut Wayan P. Windia yang dimaksud
dengan perkawinan pada gelahang adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama
Hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan
juga tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan
suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing,
sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma), yaitu
meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab
keluarga suami, sekala maupun niskala, dalam jangka waktu
tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.[2]
Perkawinan “Pada Gelahang” dapat terjadi
apa bila kedua mempelai adalah putra tunggal. Kalau wanita berstatus Predana
maka keluarga mempelai wanita tidak ada yang melanjutkan secara tetap dan
bertanggung jawab pemujaan leluhurnya dan berbagai hal yang menyangkut
kelangsungan kleuarga tersebut. Demikian juga sebaliknya kalau mempelai laki
ditetapkan sebagai Predana juga tidak
ada yang melanjutkan berbagai kewajiban keluarga mempelai laki-laki.
Karena itu satu-satunya jalan adalah melang sungkan Perkawinan Negeng Dadua.
Artinya untuk berlanjutnya keluarga mempelai wanita maka di rumahnya mempelai
wanita itu sebagai Purusa dan mempelai laki sebagai Predana. Dengan demikian
kedua keluarga tersebut akan sama-sama dapat berlanjut untuk melanjutkan swadharma
keluarga kedua belah pihak.[3]
Perkawinan pada gelahang merupakan suatu trobosan baru
di dunia perkawinan dan dunia hukum adat bali oleh karena sejatinya perkawinan
pada gelahang sendiri tidak diatur baik dalam Veda
Sabda maupun dalam Manawadharmasastra. Dalam Buku IX
tentang Atha Nawanodhayayah sloka 132,
133, 134, 135 dan 136 Manawadharmasastra hanya mengatur mengenai pengangkatan
wanita menjadi status purusa.[4]
Jadi jelas dalam Kitab Suci Manawadharmasastra
tidak ada menguraikan tentang kawin pada gelahang. Namun di
dalam Kesimpulan Paruman PHDI Propinsi Bali tanggal 29 Desember
2008 memuat beberapa kesimpulan yang
direkomendir oleh PHDI Prop. Bali dengan Keputusan Pesamuhan Agung PHDI Nomor
13/Kep/P.A.Parisada/X/2009.
Adapun kesimpulan tersebut terdiri dari
:
1. Perkawinan
“negen dadua” adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu
dan Hukum Adat Bali yang tidak termasuk perkawinan biasa (yang dikenal juga
dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana
(dikenal pula dengan sebutan kawin kaceburin atau “kawin kedalam”), melainkan
suami dan istri tetap berstatus kepurusa
dirumahnya masing-masing. Sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan
kewajiban (swadharma) yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga
meneruskan tanggung awab keluarga suami secara sekala maupun niskala. Menurut
agama Hindu dapat dibenarkan sesuai dengan sumber hukum Hindu yang disebut
dengan “dharma mulam”, adalah sebagai berikut :
1. Sruti
adalah veda atau wahyu
2. Smerti
adalah penafsiran terhadap wahyu dari orang-orang suci
3. Sila
adalah perilaku orang sadu atau orang baik
4. Acara
adalah Kebiasaan yang baik yang sudah diyakini benar oleh masyarakat.
5. Atmanastuti
adalah tingkah laku yang baik dan telah memberikan kepuasan atau kebahagiaan
pada diri sendiri.
2. Perkawinan “negen dadua” di setiap tempat / wilayah di
Propinsi Bali mempunyai nama yang
berbeda. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti
Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali, 2008, telah ditemukan beberapa
nama adalah Perkawinan pada gelahang, Perkawinan mepanak bareng, Perkawinan
nadua umah, Perkawinan mekaro lemah, Negen atau negen ayah, Perkawinan magelar
warang,, Perkawinan parental, Perkawinan mekaro lemah atau Madue umah,
Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit.
3. Masalah
jumlah masyarakat yang melaksanakan perkawinan “negen dadua” menurut hasil
penelitian diseluruh Kabupaten di Bali telah ditemukan sejumlah 28 pasangan,
bahkan mungkin lebih. Karena banyak masyarakat yang tidak mau perkawinan “negen dadua” yang telah
dilakukannya dipublikasikan.
4. Dalam
paruman walaka telah dibahas dan kemudian disimpulkan bahwa karena banyak
masyarakat di Bali yang telah melakukan perkawinan “negen dadua” atau dengan
berbagai istilah lainnya dan oleh karena sudah memiliki Landasan agama Hindu.
Maka perkawinan “negen dadua” menurut hukum Hindu dapat dibenarkan atau tidak
bertentangan dengan ajaran agama Hindu.
5. Perkawinan
“negen dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari perkawinan
“negen dadua” telah memunculkan hak anak
/ anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak mewaris dari orang tuanya.
Sehingga merupakan sebuah penghargaan terhadap hukum hak azasi manusia,
khususnya terhadap anak / anak-anak yang lahir perempuan.
6. Sebagai
syarat sahnya perkawinan “negen dadua” dapat disimpulkan apabila telah
melakukan beberapa proses agama hindu dan adat Bali, yaitu :
a) Sudah
dilangsungkan upacara pabiyakaonan,
b) Tidak
dilakukan upacara mepamit,
c) Sudah
disepakati oleh mempelai, Orang tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak).
7. Akibat
yang ditimbulkan dari dilangsungkannya perkawinan ”negen dadua” adalah mempelai
perempuan berstatus purusa, sehingga merupakan pelanjut darah keturunan dirumah
orang tuanya. Begitu juga mempelai laki-laki tetap berstatus purusa atau
pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya.
8. Anak/anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan “negen dadua” hadapannya dengan status
kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan hak (swadikara)
dan atau hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat (pasidikaran) akan
ditentukan sesuai kesepakatan.
Jika disebutkan, bahwa perkawinan “pada
gelahang” dapat dibenarkan karena tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu
sebagaimana kesimpulan pada poin 4 diatas,
kiranya perlu lebih dipertegas mengenai ajaran agama Hindu yang mana.
Salah satu contoh dari pijakan Manawadharmasastra Buku III sloka 11 “Yasyastuna bhawes bratana, wijnayeta wa
pita, nopayacchetatam prajnah, putrika dharma cangkaya”, bahwa kurang
bijaksana mengawini wanita yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Hal ini dikhawatirkan kalau-kalau wanita itu
statusnya telah diangkat kestatus
laki-laki (putrika), sehingga
dalam konteks ini akan berlaku ketentuan “matriarhat”. Sedangkan sampai saat ini ketentuan yang berlaku baik
dalam perkawinan biasa maupun perkawinan nyentana adalah
ketentuan “patriarhat”.
Bila agama berbicara tentang topik-topik
moral pada umumnya agama akan berkotbah, artinya agama berusaha memberi motivasi dan inspirasi supaya umatnya
mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang telah diterimanya berdasarkan iman.
Jika filsafat bicara tentang topik-topik moral, filsafat akan berargumentasi,
artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus
dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-alasan rasional.
Moral
memang sangat erat kaitannya dengan agama, begitu juga dengan hukum. Baik hukum maupun moral
mengatur tingkah laku manusia, namun hukum
membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja. Sedangkan moral menyangkut juga
sikap bathin seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas
sebagaimana ditekankan Immmanuel Kant, yang dikutip K.Bertens, bahwa hukum
hanya meminta legalitas, artinya kita memenuhi hukum jika tingkah laku lahiriah
sesuai dengan hukum. Sikap bathin dalam hal itu
tidak penting, karena niat bathin tidak termasuk jangkauan hukum. Hukum
didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara. Hukum
adat, kita tahu tidak secara langsung berasal dari Negara, namun hukum
adat harus diakui oleh Negara supaya
berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang
melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan
cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat
mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah moral tidak dapat
diputuskan dengan suara terbanyak. Seperti
juga setiap individu, masyarakatpun harus mematuhi norma moral.
Bagaimana tentang hak dan kewajiban sebagai akibat kawin pada
gelahang. Seharusnya dibedakan secara tegas antara hak legal dan hak moral. Hak
legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Dengan
demikian hak-hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen
legal lainnya. Dengan kata lain bahwa hak legal didasarkan atas prinsip hukum.
Jika
hak legal berfungsi dalam sistim hukum, maka hak moral berfungsi dalam
sistim moral. Dengan kata lain baik di dalam hak maupun kewajiban terkaper sebuah tanggung jawab (responsibity)
dalam tindak sosial. Artinya tanggungjawab disini adalah tanggung jawab
bertindak (responsibility of act) yang dilandasi cara-cara yang dapat
dijustifikasi secara normatif. Dalam konteks ketika pelaksanaan kawin pada
gelahang salah satu syarat untuk sahnya
perkawinan itu “tidak melakukan upacara mepamit”. Syarat ini seakan-akan masih
terselubung menyimpan sesuatu unthinkable (yang tak terpikirkan), unimaginable
(tak terbayangkan), dan unrepresentable
(tak terepresentasikan), sehingga persyaratan itu ibarat kendaraan yang membawa
masuk kedalam keliaran imajinasi dan fantasi, ke dalam teritorial-teritorial
yang melampaui batas tabu, moral dan spiritualitas.
Kenyataannya dalam konstelasi sosial
agama Hindu justru dengan “mepamit”(penyangaskara), sesudah upacara
pebiyakaonan (bhuta yadnya) mempelai diajak ke mrajan sembahyang “mohon restu”
kepada Bhetara Hyang Guru dan para
leluhur sekaligus nunas tirtha yang akan di kukuhkan (keadegang) sebagai saksi
niskala tatkala upacara “widhi widana”. Jika prosesi ini tidak ada berarti “Tri kang sinengguh
saksi” menjadi kurang yaitu Dewa Saksinya. Oleh karena itu masih perlu
diberikan penjelasan dan argumentasi mengapa upacara mepamit itu tidak
diperlukan pada kawin pada gelahang.
[1] Wayan P. Windia, Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali,
Disajikan dalam seminar hukum
adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH
Unud, Kampus Bali, Denpasar.
[2] ibid.
[3] I Ketut
Wiana, Perkawinan
Pada Gelahang Ditinjau Dari Ajaran Agama Hindu, Disajikan dalam seminar hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa
Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal
3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.
[4] I Made Suandhi, Komentar
Terhadap Kawin Pada Gelahang, Disajikan dalam seminar hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa
Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3
Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.