Kamis, 26 April 2012

LEGALITAS PENYADAPAN OLEH KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


1.1.Pendahuluan
Munculnya wancana untuk merivisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkan UU KPK), memunculkan berbagai spekulai terkait dengan pelemahan institusi yang merupakan ujung tombak pemerantasan korupsi di Indonesia, oleh karena dalam revisi tersebut kewenangan KPK secara sedikit demi sedikit mulai dibonsai. Salah satu pembatasan kewenangan KPK adalah mempersulit penyadapan koruptor yang selama ini banyak melahirkan bukti keterlibatan sejumlah pihak.
Penyadapan atau interception menjadi ramai diperbincangan kembali setelah RPP Penyadapan dipertentangan karena melanggar 5 (lima) undang-undang yang ada diatasnya. Padahal sebagaimana dilontarkan oleh Romli Atmasasmita bahwa “salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping)”.
Kedua teknik tersebut terbukti merupakan teknik yang handal daalm membongkar tuntas organisasi kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditahan.
Penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan salah satu kewenangan luar biasa yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi dari Sembilan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang, yaitu antara lain :
a.       Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri ;
b.      Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa ;
c.       Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi memiliki tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait ;
d.      Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya ;
e.       Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait ;
f.       Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa ;
g.      Meminta bantuan hukum Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri ;
h.      Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Penyadapan yang dilakukan KPK terbukti mampu membuka skandal kasus-kasus korupsi besar. Pada tahun 2008 setelah terbentuknya UU KPK, sepotong pembicaraan Urip dan orang suruhan taipan Sjamsul Nursalim, Arthalyta Suryani, terlacak. Kontak telepon itu membicarakan seputar ekspose kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Percakapan berlanjut. Wanita yang dikenal dengan panggilan Ayin itu berjanji menyiapkan sesuatu. Hanya beberapa hari setelah pembicaraan itu, Urip diringkus petugas KPK. Dia dituding menerima dana USD 660 ribu untuk memuluskan penyelidikan BLBI.
Tak sampai di situ. Rekaman itu juga membuka tabir penegakan hukum. Betapa tidak, beberapa saat setelah penangkapan Urip, Ayin bisa melobi pejabat Kejagung berinisial UUS untuk mengamankan kasusnya. Yang mengagetkan pembicaraan dilakukan saat keduanya dalam tahanan. Setelah menjalani persidangan, keduanya dijatuhi hukuman maksimal, Ayin diganjar 5 tahun penjara, sedangkan Urip lebih berat 20 tahun penjara. Ini kasus paling fenomenal yang diungkap KPK terkait penyadapan.
Selang beberapa hari setelah penangkapan tersebut, penyadapan yang dilakukan KPK kembali memakan korban. Kali ini, yang ditangkap adalah Al Amin Nur Nasution, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama pejabat penyuapnya, Sekda Bintan Azirwan yang dituding telah menerima suap terkait alih fungsi hutan lindung untuk pembangunan hutan lindung. Ini kasus pertama KPK yang mengungkap suap di parlemen. Dalam kasus Al Amin, KPK berhasil melacak pemerasan Al Amin terhadap rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan alat global positioning system (GPS). Yakni, dari PT Almega Geosystem Rp 650 juta dan PT Data Script Rp 186 juta. Dalam persidangan dia juga terbukti mengancam kedua rekanan itu agar memberikan uang.
Setelah dua kasus besar itu, berturut-turut terungkap korupsi pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan, yang menyeret anggota DPR Bulyan Royan. Melalui penyadapan pula, KPK berhasil mengusut dugaan suap petinggi First Media Billy Sindoro menjelang dijatuhkannya keputusan sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kasus ini menyeret komisioner Muhammad Iqbal. Yang tak kalah heboh, terbongkarnya dugaan suap dalam pembahasan dana stimulus di DPR. Lagi-lagi, kasus ini menyeret peran anggota DPR, Abdul Hadi Djamal. Penyadapan pula yang berhasil menguak perancangan dugaan krirninalisasi terhadap dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Pada dasarnya, penyadapan digunakan dalam usaha mengungkapkan kejahatanNamun, belakangan penyadapan di KPK justru mendapatkan banyak kritikan. Sebab, akibat penyadapan itu tak jarang persoalan pribadi terungkap ke publik. Dalam satu percakapan, transaksi korupsi agak sulit dipisahkan dari persoalan pribadi.

1.2.Tinjauan Tentang Penyadapan
Aksi penyadapan sebetulnya punya cerita panjang. Pada masa kolonial, Keputusan Raja Belanda 25 Juli 1893 No 36, bisa dianggap peraturan tertua. Beleid itu mengatur penyadapan informasi pada lalu lintas surat di kantor pos seluruh nusantara.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, pengaturan mengenai penyadapan di era reformasi sekarang ini telah banyak bertebaran dalam peraturan perundang-undangan. Seperti yang tercantum dalam penjelasan Pasal 32 UU Intelijen Negara disebutkan “Yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, menubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi, termasuk memeriksa paket, pos, surat-menyurat, dan dokumen lain”.
Lalu ditegaskan kembali dalam penjelasan pasal 31 ayat (1) UU No 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah “Kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.
Menurut Penjelasan UU ITE, Pasal 31 disebutkan bahwa “Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan “informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
Memahaminya”.
Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Selain itu, yang dimaksud dengan sistem elektronik menurut pasal 1 angka 5 adalah ”serangkaian perangkat atau prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau menyebarkan informasi elektronik”.
Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, yang dimaksud dengan “penyadapan informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut”.


1.3.Penyadapan dan Hak Asasi Manusia
Hak atas Privasi di Indonesia dijamin perlindungannya di dalam Konstitusi Indonesia, khususnya sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28 F dan pasal G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan mengolah dan menyampaiakn informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Meski bagian dari perlindungan konstitusional, namun pengaturan privasi di Indonesia justru lemah, karena ketiadaan UU yang secara khusus menjamin hak atas privasi tersebut. Namun demikian ada beberapa ketentuan yang bisa menjadi rujukan dalam perlindungan hak atas privasi dalam konteks penyadapan di antaranya adalah:
a.       Ketentuan Pasal 21 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan perlindungan terhadap Hak Pribadi seseorang, ketentuan tersebut menyatakan :
“Setiap orang berhak atas keutuhan kehidupan pribadinya, baik jasmani maupun rohani, sehingga tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya”.
Demikian pula dalam ketentuan pasal 14 UU tersebut yang menyatakan :
"Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
Masih dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan Pasal 32, juga ikut memberikan jaminan terhadap hak atas rasa aman dari ancaman ketakutan yang menyatakan :
"Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan";
b.      Ketentuan pasal 8 ayat (1) Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, yang menyatakan bahwa :
“setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumahtangganya dan surat-menyuratnya”.
c.       Ketentuan Pasal 17 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976, sebagaimana telah dilakukan pengesahan oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan :
“Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluaraganya, rumah tangganya atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemati kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah";
Ketentuan ini menekankan pada pembatasan kewenangan Negara untuk melakukan pengawasan rahasia terhadap suatu individu. Dalam pasal tersebut dikatakan:
(1)      No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation.
(2)      Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.
d.      Ketentuan Pasal 17 ICCPR tersebut kemudian didetailkan oleh Komentar Umum Nomor 16 yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada persidangan ke dua puluh tiga, Tahun 1988, yang memberikan komentar terhadap materi muatan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak  Sipil dan Politik, pada  point 8 dinyatakan :
 "...bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegram, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang";
e.       Ketentuan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan :
"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun";
f.       Dalam penjelasan Pasal 40 Telekomunikasi disebutkan bahwa :
"yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi  dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang";
g.    Pasal 31 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :
 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”.
Selanjutnya di dalam Pasal 31 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen  Elektronik yang sedang ditransmisikan”.
Lebih jelasnya Pasal 31 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan :
“Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang”.
Dalam khazanah hukum HAM internasional, berkali-kali bahkan disebutkan bahwa menjadi hak asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights), bagi setiap orang untuk tidak dikenakan tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya atau barang milik pribadinya, termasuk di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh pejabat negara yang melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak pidana. Penegasan ini sebagaimana juga tertera di dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah menegaskan bahwa :
No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa jika dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia, maka jelaslah penyadapan merupkan sesuatu pelanggran terhadap hak privasi seseorang atas kemerdekaan dan kerahasiaan, sehingga bertentangan pula dengan asas non self incrimination yang berlaku secara universal, dimana tidak seorangpun dapat dipaksa / diwajibkan memberi bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya dalam suatu perkara pidana. Selain bertentangan dengan asas non self incrimination penyadapan juga bertentangan dengan asas unlawful legal evidence oleh karena bukti penyadapan merupakan suatu alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau cenderung melanggar hukum (melanggar hak privasi seseorang).
Meskipun demikian penyadapan dapat dibenarkan jika dilakukan dalam kerangka penegakan hukum, sebagaimana dikatakan Erdianto Efendi bahwa atas nama penegakan hukum maka sejumlah tindakan yang sejatinya adalah pelanggaran HAM dapat dibenarkan. Penangkapan, penahan, penyitaan dan penggeledahan bahkan pidana mati telah dibenarkan dalam hukum acara pidana. Sejati dan senyatanya, perbuatan tersebut adalah pelanggaran HAM yang nyata. Dalam hukum pidana khusus, bahkan banyak asas-asas HAM yang sengaja dilanggar seperti asas berlaku surut (rekroatif).[1]
Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum dengan melanggar HAK dapat dibenarkan sepanjang dilakukan dengan pembatasan dan aturan yang ketat serta dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan HAM yang lebih besar.  Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, kepentingan yang ingin dilindungi jauh lebih besar yaitu kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.[2]
Sejalan dengan hal tersebut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan bernomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 di perkuat dengan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006 telah secara gambalng memberikan penjelasan mengenai hak privasi. Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga Negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks ini (penyadapan), Undang-Undang yang dimaksud dalam ketentuan pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah UU KPK pada pasal 12 ayat (1), pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 40 UU Telekomunikasi dan Permen No. 11 tahun 2006 mengenai aturan teknis tentang Penyadapan, dan ketentuan pasal 73 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia

Komentar Para Pakar  tentang Penyadapan :
1.      Mohammad Fajrul Falaakh, anggota Komisi Hukum Nasional, dan ahli hukum tata negara dari UGM menyatakan :
“Undang-Undang penyadapan harus mengatur jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan”.[3]
2.      Menurut Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Muchtar :
“sangat tidak etis, kalau penyadapan dilakukan untuk tujuan pengungkapan kasus yang tidak pernah dipermasalahkan karena dapat mengusik hak privasi seorang”.[4]
3.  Wakil Ketua Komisi Pertahanan dan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Gumiwang menyatakan :
“bahwa negara antikorupsi yang relative bersih, seperti Korea Selatan dan Australia, memiliki pengaturan yang jelas tentang penyadapan. Hal ini agar penggunaan penyadapan tidak digunakan untuk hal-hal di luar kasus korupsi sehingga melanggar HAM dan orang merasa dizalimi karena penyadapan yang tidak sesuai dengan aturan tersebut”.
4.  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Evert Ernest  Mangindaan berpendapat :
“bahwa penyadapan tidak boleh dilakukan secara bebas. Harus ada aturan tertentu mengenai penyadapan tersebut”.


[1] Erdianto Effendi, Kewenangan KPK Untuk Melakukan Penyadapan, Desain Hukum, Vol. 10, No. 1 Jan-Peb 2010, h. 24.

[2] Ibid.

[3] Anggara, Hak Privasi dan Kontroversi Penyadapan, Vivanews.com http://nasional.vivanews.com/news/read/206967-hak-privasi-dan-kontroversi-penyadapan

[4] Sudiman Sidabukke, Tinjauan Kewenangan Penyadapan Oleh KPK Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, data diakses pada tanggal….. alvailble URL From : http://repository.ubaya.ac.id/133/1/Makalah%20Penyadapan%20KPK.pdf.

Jumat, 16 Maret 2012

PARADIGMA PERKAWINAN PADA GELAHANG DI BALI


1.1.Pendahuluan
            Kawin “pada gelahang” secara faktual eksistensinya  sudah berlangsung sejak tahun 1945 sebagaimana  dikemukakan dalam hasil penelitian Wayan P. Windia, Dkk. Sebagai terminologi, periodisasi, isi gagasan tampaknya masih menjadi problema dan menyandang muatan kontroversi. Namun hal tersebut tidak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi yang ditawarkan oleh  perkawinan pada gelahang itu.
            Sebagai trend, kawin pada gelahang sudah sejak kemunculannya diwadahi dalam berbagai kemasan ritual terlebih  dilegalisasi desa mawacara, maka  kawin pada gelahang  secara substansi  justru  berkembang biak hingga kini,  ibarat sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bahkan dari sudut ini substansi kawin pada gelahang sepertinya baru lahir dan berkembang. Tak berlebihan hampir disegala  lini wacana, mulai  agama, adat, sosial, moral, hukum, filsafat  sampai teologi  menuai berhamburan kerangka-kerangka pikir baru yang hanya dapat dimengerti jika kita memahami segala isu yang bermula dilemparkan oleh fenomen kawin pada  gelahang.
            Sebagai suatu peringatan ketika kita review terhadap pemahaman konsep kawin pada gelahang  kita memang mudah terjebak ke dalam berbagai kerancuan perspektif, terutama jika kita hendak amat risih membuat batasan-batasaan tegas yang memisahkan antara kawin pada gelahang,  kawin biasa, dan  kawin nyentana. Mungkin saja secara karikatoris kawin pada gelahang mudah bercampur baur dengan substansi isinya yang sangat kompleks. Kawin pada gelahang dalam perspektif etika (moralitas) kerap tumpang tindih dengan kawin pada gelahang dalam perspektif filosofis. Yang pertama bicara tentang harmonisasi korelasi Tri Hita Karana dengan pembabakan tersendiri, yang kedua bicara tentang perubahan kerangka dasar pemikiran dengan pembabakannya yang karakeristik pula. Belum lagi pada pembicaraan fenomena kultural menyebabkan antara kulturkritik dan ideologikritik saling berbantahan/berbenturan.
            Namun apapun label yang kita gunakan, setidak-tidaknya  realita kawin pada gelahang yang berkembang telah membukakan persoalan-persoalan mendasar dan paradigmatik  dalam peradaban manusia (umat hindu) diabad reformasi kini. Pakar Hukum Adat  seperti Wayan P. Windia dkk misalnya telah membantu menegaskan secara populer relativitas dan sisi ideologis dunia hukum adat kita.

1.2.Perkawinan Menurut Hindu
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud “Perkawinan adalah hubungan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa Pasal. Selanjutnya pasal 2 nya menegaskan bahwa “syahnya suatu perkawinan berdasarkan hukum Agamanya masing-masing”.
Dalam ajaran agama hindu tujuan perkawinan secara ekplisit tertuang dalam  Veda  Sabda  Suci Pedoman Praktis Kehidupan  pada romawi VII. 7.8.3.1 tentang Perkawinan (Vivaha) hanya menyebutkan tujuan perkawinan itu  meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), Praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma. (Titib,1996:394).
Perkawinan dalam  Manawa Dharmasastra IX,45 (Puja.1978.540) tersebut ada dinyatakan bahwa istri itu tunggal dengan suaminya. Ini artinya kedudukan wanita dan laki-laki adalah setara dan sangat utama dalam pandangan Agama Hindu. Karena itu dalam Rgveda laki dan perempuan yang sudah menjadi suami istri disebut dengan satu istilah yaitu Dampati artinya tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa Bali disebut “dempet”. Demikian juga adanya istilah suami dan istri. Kalau orang disebut istri sudah termasuk didalamnya pengertian suami. Kalau ada perempuan yang sudah disebut sebagai istri sudah dapat dipastikan ada suaminya. Karena kalau ada perempuan yang belum bersuami tidak mungkin dia disebut istri. Demikian juga kalau ada laki-laki disebut sebagai suami sudah dapat dipastikan ada istrinya. Tidak ada laki-laki yang bujangan disebut suami. Mereka disebut suami dan istri karena mereka sejajar tetapi beda fungsi dalam rumah tangga. Kata suami dalam bahasa sansekerta artinya master, lord, dominion atau pemimpin. Sedangkan kata istri berasal  dari bahasa sansekerta dari akar kata “str “ artinya pengikat kasih. Istri berasal dari wanita. Kata wanita juga berasal dari bahasa sansekerta dari asal kata “van” artinya to be love (yang dikasihi). Hal itulah yang menyebabkan wanita setelah menjadi istri kewajibanya menjadi tali pengikat kasih seluruh keluarga. Dalam Mahabharata Resi Bisma menyatakan bahwa dimana wanita dihormati disanalah bertahta kebahagiaan. Karena itu Rahvana yang menghina Dewi Sita dan Duryudana yang menghina Dewi Drupadi, kedua-duanya menjadi raja yang terhina. Dalam Manawa Dharmasastra III.56 (Puja.1978.146) ada dinyatakan bahwa dimana wanita itu dihormati disanalah para Dewa akan melimpahkan karunia kebahagiaan dengan senang hati. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada Upacara Yadnya apapun yang memberi pahala kemuliaan.
Yatra nậryastu pὐjyante
Ramante tatra dewatah
yatraitậstu na pὐjyante
sarvậstatra phalậh kriyậh(Manawa Dharmasastra III.56)

Artinya :
Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugrahnya.Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia.Istri dalam rumah tangga memiliki  peran yang amat utama untuk berlangsungnya suatu rumah tangga  

        Manawa Dharmasastra IX.132 (1978.564) menyatakan bahwa anak wanita boleh diangkat sebagai akhli waris orang tuanya. Dalam sloka 133 berikutnya dinyatakan tidak ada perbedaan antara putra laki dan perempuan yang diangkat statusnya sebagai akhli waris. Dalam hal pembagian harta waris menurut Manawa Dharmasastra IX.118 (Puja.1978.560) menyatakan bahwa wanita mendapatkan minimal seperempat bagian dari masing-masing pembagian saudara lakinya. Kalau saudara lakinya banyak bisa saudara wanitanya lebih banyak mendapat dari saudara lakinya. Tetapi dalam adat istiadat Hindu di Bali wanita itu tidak dapat waris apa lagi ia kawin keluar lingkungan keluarganya. Disamping wanita mendapatkan artha warisan juga mendapatkan pemberian artha jiwa dāna dari ayahnya. Jumlahnya tergantung kerelaan orang tuanya. Sebagai ibu atau Pitri Matta menurut istilah dalam Manawa Dharma II.145 (Puja.1978.104) seribu kali lebih terhormat dari pada ayah. Sedangkan sebagai istri ia setara dengan suaminya. Dalam hal karier menurut Manawa Dharmasastra IX.29 (Puja.1978.535) wanita  dapat memilih sebagai Sadwi atau sebagai Brahmawadini. Kalau sebagai Sadwi artinya wanita itu memilih berkarier dalam rumah tangga sebagai pendidik putra-putranya dan pendamping suami. Karena dalam Vana Parwa 27.214 ibu dan ayah (Mata ca Pita) tergolong guru yang setara. Sedangkan jika sebagai Brahma Vadini. Ia bisa sebagai ilmuwan, politisi, birokrasi, kemiliteran maupun berkarier dalam bidang bisnis. Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi wanita.Itu semua konsep normatifnya kedudukan perempuan menurut pandangan Hindu.
        Dari sudut pandangan ajaran Agama Hindu keduduakan wanita setara dengan laki –laki. Tidak setiap perkawinan mewajibkan wanita harus meninggalkan keluarganya dan ikut keluarga suaminya. Amat tergantung kesepakatan kedua pasang keluarga bersangkutan. Konsep Hindu sesungguhnya tidak mengenal dengan istilah patrilinial dan matrilinial. Hindu mengenal konsep Purusa dan Pradana. Purusa Predana itu bukan berarti laki dan perempuan. Purusa artinya jiwa dan Predana artinya badan atau yang nyata ini berbentuk  fisik. Purusa dan Pradana memilliki pengertian dan dimensi  yang amat luas dalam kontek keluarga Purusa berarti siapa yang menjadi pimpinan terdepan sebagai pemegang keputusan tertinggi atau pemegang tanggung jawab tertinggi dalam keluarga tersebut. Sedangkan Predana dalam hubungannya dengan keluarga ini adalah orang kedua sebagai pimpinan yang  berfungsi untuk bertanggung jawab menjabarkan apa yang telah ditetapkan bersama. Demikianlah aspek formalnya. Dalam kehidupan empiris pada  kenyataanya suami istri senantiasa bekerja sama dalam berbagai tahap kegiatan keluarga. Siapa yang ditetapkan sebagai Purusa dan siapa Predana dalam suatu  perkawinan ditetapkan dalam suatu  musyawarah  kedua keluarga. Hal itu hak prerogatif kedua keluarga tersebut untuk menetapkan suatu “kula acara” atau tradisi keluarga. Aparat Desa sebagai pejabat publik sesungguhnya tidak boleh mencampuri. Aparat publik seperti Kelihan atau Bendesa Adat hanya sebagai saksi untuk  menguatkan keputusan yang disevbut “kula acara” tersebut.

1.3.Perkawinan Pada Gelahang
Dalam masyarakat bali dikenal dua bentuk perkawinan yang sangat menetukan kedudukan suami-istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu di dalam keluara dan pewarisaannya. Secara generalis perkawinan di Bali dikenaal sebagai berikut :
1.      Perkawinan Biasa
Sesuai dengan agamanya, daam hal ini pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keuarga suaminya.
2.      Perkawinan nyeburin
Perkawinan nyeburin adalah perkawianan dimana si wanita ditetapkan berkedudukan sebagai purusa artinya si suami selaku predana, keluar dari rumpun keluarga asalnya mecebur atau terjun serta masuk kedalam lingkungan keluarga istrinya.
Suatu perkawinan untuk dapat disebut perkawinan nyeburin haruslah mengikuti kaedah-kaedah menurut hukum adat bali sebagai berikut :
             i.          Pihak wanita harus bersetatus sentana rejeg artinya wanita yang akan menikah harus ditetapkan sebagai penerus keturunan.
           ii.          Perundingan untuk melakukan perkawinan nyeburin harus dimulai dari pihak orang tua calon istri (yang akan dipurusakan) dengan keluarga calon suami. Tentu saja pendekatan itu yang utama adalah terhadap sang calon suami yang bersangkutan. Bila telah terjadi kesepakatan barulah perkawinan nyeburin dapat dilaksanakan.
         iii.          Upacara perkawinan (pesakapan) yang paling pokok dan merupakan syarat sahnya perkawinan, yaitu upacara mabyakawon / mabyakala, harus dilakukan di rumah pihak istri.
         iv.          Pihak suami harus masuk keluarga pihak istri dan diterima sebagai anggota keluarga pihak istri. Ini artinya pihak suami dari rumpun keluarga asalnya, yang secara konkrit ditunjukan si suami dari semula sudah tinggal dirumah istrinya. Suami tidak lagi memuja (nyungsung sanggah / merajan bapak asalnya, melainkan ia harus memuliakan sanggah / merajan pihak istri).
           v.          Suami berkedudukan sebagai nyentane nyeburun yaitu mempunyai hak sebagai predana (wanita) dan ini ditunjukan dengan adanya pihak istri mengantar sajen-sajen pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga si laki-laki, sebagai upacara melepaskan ikatan si suami dari keluarga asalnya sebagai purusa. 
3.      Perkawinan pada gelahang
Perkawinan pada gelahang atau negen dadua di bali memiliki banyak penamaan yang antara lain :
1.      Perkawinan  pada gelahang, perkawinan  negen dua (Banjar Pohmanis,  Penatih, Denpasar).
2.      Perkawinan mapanak bareng (Banjar Kukup Perean, Tabanan, Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar.).
3.      Perkawinan  negen dadua mapanak bareng (Lingkungan Banjar Kerta Buana, Denpasar, Desa Adat Peguyangan,  Denpasar).
4.      Perkawinan  nadua umah (Kerambitan, Tabanan).
5.      Perkawinan makaro lemah, negen atau negen ayah (Desa Pakraman Gianyar, Gianyar).
6.       Perkawinan magelar warang (Sangsit,Bulelelng dan Melaya, Jemberana).
7.      Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian  tanpa upacara mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan,Denpasar.
8.      Perkawinan “parental”  menurut I Gusti Ketut Kaler (1967).         
9.      Perkawinan makaro lemah atau madua umah menurut Ida Bagus Sudarsana (2003-2004).[1]
Meskipun memiliki penamaan yang berbeda-beda di tiap-tiap daerahnya pada intinya yang dimaksud dengan perkawinan pada gelahang adalah merupakan salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Konsep perkawinan ini dipengaruhi dari berbagai factor, yaitu: calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen.
Menurut Wayan P. Windia yang dimaksud dengan perkawinan pada gelahang adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali,  yang  tidak termasuk  perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma), yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala maupun niskala, dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.[2]
Perkawinan “Pada Gelahang” dapat terjadi apa bila kedua mempelai adalah putra tunggal. Kalau wanita berstatus Predana maka keluarga mempelai wanita tidak ada yang melanjutkan secara tetap dan bertanggung jawab pemujaan leluhurnya dan berbagai hal yang menyangkut kelangsungan kleuarga tersebut. Demikian juga sebaliknya kalau mempelai laki ditetapkan sebagai Predana juga tidak  ada yang melanjutkan berbagai kewajiban keluarga mempelai laki-laki. Karena itu satu-satunya jalan adalah melang sungkan Perkawinan Negeng Dadua. Artinya untuk berlanjutnya keluarga mempelai wanita maka di rumahnya mempelai wanita itu sebagai Purusa dan mempelai laki sebagai Predana. Dengan demikian kedua keluarga tersebut akan sama-sama dapat berlanjut untuk melanjutkan swadharma keluarga kedua belah pihak.[3]
Perkawinan pada gelahang merupakan suatu trobosan baru di dunia perkawinan dan dunia hukum adat bali oleh karena sejatinya perkawinan pada gelahang sendiri tidak diatur baik dalam Veda  Sabda  maupun dalam  Manawadharmasastra. Dalam Buku IX tentang  Atha Nawanodhayayah sloka 132, 133, 134, 135 dan 136 Manawadharmasastra hanya mengatur mengenai pengangkatan wanita menjadi status purusa.[4] Jadi jelas dalam Kitab Suci Manawadharmasastra  tidak ada menguraikan tentang kawin pada gelahang. Namun  di  dalam Kesimpulan Paruman PHDI Propinsi Bali tanggal 29 Desember 2008  memuat beberapa kesimpulan yang direkomendir oleh PHDI Prop. Bali dengan Keputusan Pesamuhan Agung PHDI Nomor 13/Kep/P.A.Parisada/X/2009.
Adapun kesimpulan tersebut terdiri dari :
1.      Perkawinan “negen dadua” adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan Hukum Adat Bali yang tidak termasuk perkawinan biasa (yang dikenal juga dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kaceburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus  kepurusa dirumahnya masing-masing. Sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadharma) yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung awab keluarga suami secara sekala maupun niskala. Menurut agama Hindu dapat dibenarkan sesuai dengan sumber hukum Hindu yang disebut dengan “dharma mulam”, adalah sebagai berikut :
1.      Sruti adalah veda atau wahyu
2.      Smerti adalah penafsiran terhadap wahyu dari orang-orang suci
3.      Sila adalah perilaku orang sadu atau orang baik
4.      Acara adalah Kebiasaan yang baik yang sudah diyakini benar oleh masyarakat.
5.      Atmanastuti adalah tingkah laku yang baik dan telah memberikan kepuasan atau kebahagiaan pada diri sendiri.
2.      Perkawinan  “negen dadua” di setiap tempat / wilayah di Propinsi Bali  mempunyai nama yang berbeda. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali, 2008, telah ditemukan beberapa nama adalah Perkawinan pada gelahang, Perkawinan mepanak bareng, Perkawinan nadua umah, Perkawinan mekaro lemah, Negen atau negen ayah, Perkawinan magelar warang,, Perkawinan parental, Perkawinan mekaro lemah atau Madue umah, Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit.
3.      Masalah jumlah masyarakat yang melaksanakan perkawinan “negen dadua” menurut hasil penelitian diseluruh Kabupaten di Bali telah ditemukan sejumlah 28 pasangan, bahkan mungkin lebih. Karena banyak masyarakat yang  tidak mau perkawinan “negen dadua” yang telah dilakukannya dipublikasikan.
4.      Dalam paruman walaka telah dibahas dan kemudian disimpulkan bahwa karena banyak masyarakat di Bali yang telah melakukan perkawinan “negen dadua” atau dengan berbagai istilah lainnya dan oleh karena sudah memiliki Landasan agama Hindu. Maka perkawinan “negen dadua” menurut hukum Hindu dapat dibenarkan atau tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu.
5.      Perkawinan “negen dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari perkawinan “negen dadua”  telah memunculkan hak anak / anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak mewaris dari orang tuanya. Sehingga merupakan sebuah penghargaan terhadap hukum hak azasi manusia, khususnya terhadap anak / anak-anak yang lahir perempuan.
6.      Sebagai syarat sahnya perkawinan “negen dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa proses agama hindu  dan adat Bali, yaitu :
a)      Sudah dilangsungkan upacara pabiyakaonan,
b)      Tidak dilakukan upacara mepamit,
c)      Sudah disepakati oleh mempelai, Orang tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak).
7.      Akibat yang ditimbulkan dari dilangsungkannya perkawinan ”negen dadua” adalah mempelai perempuan berstatus purusa, sehingga merupakan pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya. Begitu juga mempelai laki-laki tetap berstatus purusa atau pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya.
8.      Anak/anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan “negen dadua” hadapannya dengan status kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan hak (swadikara) dan atau hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat (pasidikaran) akan ditentukan sesuai kesepakatan.
Jika disebutkan, bahwa perkawinan “pada gelahang” dapat dibenarkan  karena  tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu sebagaimana kesimpulan pada poin 4 diatas,  kiranya perlu lebih dipertegas mengenai ajaran agama Hindu yang mana. Salah satu contoh dari pijakan Manawadharmasastra Buku III sloka 11 “Yasyastuna bhawes bratana, wijnayeta wa pita, nopayacchetatam prajnah, putrika dharma cangkaya”, bahwa kurang bijaksana mengawini wanita yang tidak mempunyai saudara laki-laki.  Hal ini dikhawatirkan kalau-kalau wanita itu statusnya telah diangkat kestatus  laki-laki (putrika), sehingga  dalam konteks ini akan berlaku ketentuan “matriarhat”. Sedangkan sampai saat ini ketentuan yang berlaku baik dalam perkawinan biasa maupun perkawinan nyentana  adalah  ketentuan “patriarhat”.
Bila agama berbicara tentang topik-topik moral pada umumnya agama akan berkotbah, artinya agama berusaha memberi  motivasi dan inspirasi supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang telah diterimanya berdasarkan iman. Jika filsafat bicara tentang topik-topik moral, filsafat akan berargumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-alasan rasional.
Moral  memang sangat erat kaitannya dengan agama, begitu juga  dengan hukum. Baik hukum maupun moral mengatur  tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja. Sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas sebagaimana ditekankan Immmanuel Kant, yang dikutip K.Bertens, bahwa hukum hanya meminta legalitas, artinya kita memenuhi hukum jika tingkah laku lahiriah sesuai dengan hukum. Sikap bathin dalam hal itu  tidak penting, karena niat bathin tidak termasuk jangkauan hukum. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara. Hukum adat, kita tahu tidak secara langsung berasal dari Negara, namun hukum adat  harus diakui oleh Negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah moral tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak. Seperti  juga setiap individu, masyarakatpun harus mematuhi norma moral.
Bagaimana tentang  hak dan kewajiban sebagai akibat kawin pada gelahang. Seharusnya dibedakan secara tegas antara hak legal dan hak moral. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Dengan demikian hak-hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya. Dengan kata lain bahwa hak legal didasarkan atas prinsip hukum.
Jika  hak legal berfungsi dalam sistim hukum, maka hak moral berfungsi dalam sistim moral. Dengan kata lain baik di dalam hak maupun kewajiban  terkaper sebuah tanggung jawab (responsibity) dalam tindak sosial. Artinya tanggungjawab disini adalah tanggung jawab bertindak (responsibility of act) yang dilandasi cara-cara yang dapat dijustifikasi secara normatif. Dalam konteks ketika pelaksanaan kawin pada gelahang  salah satu syarat untuk sahnya perkawinan itu “tidak melakukan upacara mepamit”. Syarat ini seakan-akan masih terselubung menyimpan sesuatu unthinkable (yang tak terpikirkan), unimaginable (tak terbayangkan), dan  unrepresentable (tak terepresentasikan), sehingga persyaratan itu ibarat kendaraan yang membawa masuk kedalam keliaran imajinasi dan fantasi, ke dalam teritorial-teritorial yang melampaui batas tabu, moral dan spiritualitas.
Kenyataannya dalam konstelasi sosial agama Hindu justru dengan “mepamit”(penyangaskara), sesudah upacara pebiyakaonan (bhuta yadnya) mempelai diajak ke mrajan sembahyang “mohon restu” kepada  Bhetara Hyang Guru dan para leluhur sekaligus nunas tirtha yang akan di kukuhkan (keadegang) sebagai saksi niskala tatkala upacara “widhi widana”. Jika prosesi  ini tidak ada berarti “Tri kang sinengguh saksi” menjadi kurang yaitu Dewa Saksinya. Oleh karena itu masih perlu diberikan penjelasan dan argumentasi mengapa upacara mepamit itu tidak diperlukan pada kawin pada gelahang.


[1] Wayan P. Windia, Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Disajikan dalam seminar  hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada  tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

[2] ibid.

[3] I Ketut Wiana, Perkawinan Pada Gelahang Ditinjau Dari Ajaran Agama Hindu, Disajikan dalam seminar  hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada    tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

[4] I Made Suandhi, Komentar Terhadap Kawin Pada Gelahang, Disajikan dalam seminar  hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada  tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.