Jumat, 13 Januari 2012

LEGALITAS KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA


I.      PENDAHULUAN
    Pembuktian  memegang  peranan penting  dalam proses  pemeriksaan sidang  pengadilan.  Dengan  pembuktian  inilah  ditentukan  nasib terdakwa. Apabila  hasil pembuktian   dengan alat-alat  bukti  yang ditentukan undang- undang tidak cukup  membuktikan kesalahan  yang didakwakan  kepada terdakwa, terdakwa  dapat dibebaskan  dari hukuman dan sebaliknya  kalau kesalahan  terdakwa  dapat dibuktikan  dengan alat-alat bukti  yang disebutkan dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa  harus  dinyatakan bersalah, kepadanya harus dijatuhkan  hukuman. Oleh karena itu para hakim  harus hati-hati, cermat dan matang  menilai  dan mempertimbangkan masalah pembuktian.[1]

Sistem pembuktian  yang berlaku dalam  hukum acara pidana, merupakan  suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat yang mutlak  yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang  Hukum Acara Pidana, yaitu : alat bukti yang cukup serta sah  dan keyakinan hakim.  Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan pasal  184  ayat (1) KUHAP antara lain : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Ada beberapa perbedaan yang mendasar dalam sistem pembuktian yang dianut dalam  hukum  acara perdata dengan sistem hukum acara pidana. Dalam hukum acara perdata menganut sistem pembuktian secara positif, dalam sistem pembuktian positif yang dicari oleh hakim  adalah  kebenaran formal, sedangakan sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana adalah sistem pembuktian negatif, dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaraan materiil, yang berarti bahwa di dalam mencari kebenaran hakim tidak terikat pada keterangan atau alat-alat bukti yang digunakan oleh jaksa penuntut umum/terdakwa saja, bahkan hakim dilarang menerima kebenaran peristiwa berdasarkan pengakuan terdakwa semata-mata karena tujuan hukum acara pidana bukanlah menyelesaiakan sengketa.[2]
            Dalam hukum acara pidana pengakuan mengenai sistem pembuktian secara negatif secara ekplisit telah tercantum dalam ketentuan pasal 183 KUHAP, yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Salah satu alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan  saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 butir  27 KUHAP maka yang harus diterangkan oleh saksi dalam sidang adalah :
a.       apa yang saksi lihat sendiri;
b.      apa yang saksi dengar sendiri ; dan
c.       apa yang saksi alami sendiri
Namun faktanya sekarang keterangan saksi telah mengalami perkembangan, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakatan di bidang teknologi komunikasi dan informasi saat ini, dalam praktek peradilan pidana keterangan saksi tidak lagi diberikan secara langsung (fisik) harus dipersidangan untuk memberikan kesaksiannya. Dewasa ini dalam dunia peradilan Indonesia telah diperkenalkan cara pemeriksaan saksi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal dengan istilah teleconference.
Padahal KUHAP tidak mengenal bukti-bukti elektronik maupun ketentuan-ketentuan  tentang  prosedur pemeriksaan saksi lewat  sarana teknologi  informasi (teleconference), seperti yang pernah terjadi dalam sidang perkara pidana dengan  terdakwa  Rahardi Ramelan di Pengadilan  Negeri  Jakarta Selatan yang memeriksa saksi mantan Presiden Indonesia B.J. Habibi dengan menggunkan teleconference. Prosedur pemeriksaan memakai sarana teknologi dengan cara teleconference tersebut, baru pertama kali terjadi dan diperaktekan dalam sejarah peradilan Indonesia.[3]
Setelah pemberian  kesaksian melalui teleconference yang dilakukan oleh B.J. Habibie, selanjutnya giliran saksi-saksi kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur yang meminta PN. Jakarta Pusat untuk mengambil kesaksian mereka secara teleconference demi alasan keamanan dan efisiensi waktu. PN. Jakarta Pusat dengan berbagai pertimbangan itu akhirnya mengabulkan permintaan mereka untuk mengambil kesaksian dari saksi-saksi tersebut secara teleconference. Kesaksian teleconference  tersebut dilaksanakan di kota Dili, sementara terdakwa duduk di kursi pesakitan  PN. Jakarta Pusat.
Begitu pula dengan persidangan Abu Bakar Ba’asyir, terdakwa kasus rencana pengeboman beberapa gereja di malam Natal tahun 2000 dan rencana pembunuhan kepada Megawati yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Saksi-saksi yang akan didengarkan kesaksiannya dalam persidangan tersebut berada di Singapura dan status mereka adalah tahanan pihak kepolisian negara Singapura. Tidak gampang untuk menghadirkan Faiz Bafana dan Ja’far bin Misrooki ke ruang persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi mengingat statusnya tersebut. Maka dari itu digunakanlah media teleconference untuk memberikan kesaksian pada persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Para saksi memberikan keterangannya dari bekas gedung Kementerian Dalam Negeri Singapura kepada sidang yang digelar di PN. Jakarta Pusat.
Pemeriksaan saksi jarak jauh (teleconference) untuk di Bali sendiri juga pernah dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus terorisme Bom Bali yang terdakwanya adalah Ali Gufron alias Muklas alias Sofwan yang mengahdirkan saksi Wan Min bin Wan Matematika yang berada di Malaysia yang kesaksiannya diberikan dari jarak jauh secara teleconference.
Pada tahun 2011 ini pemeriksaan saksi melalui teleconference kembali diperaktekan dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir terhadap 16 saksi yang akan memberi kesaksian, berdasarkan Surat  Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 148 / PEN.PID / 2011 / PN.Jkt.Sel. tanggal 10 Maret 2011, yang pada pokoknya mengabulkan permohonan pemeriksaan saksi secara teleconference atas 16 saksi tersebut dengan dasar dan argumentasi sebagai berikut:
1.     Pasal 33 jo. Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 15 tahun. 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi Undang-Undang
2.   Pasal 2 jo. Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
3.   Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.[4]

Kesaksian yang disampaikan melalui media teleconference seperti contoh yang ada merupakan langkah yang besar dan baru di dalam dunia hukum, khususnya hukum acara di Indonesia.
Namun tidak semua permohonan pemeriksaan saksi dapat dilakukan dan diterima oleh Pengadilan, seperti kasus Schapelle Leigh Corby yang permohonan untuk pemeriksaan melalui teleconference atau wawancara jarak jauh tidak dapat diterima padahal penasehat hukum Corby, Erwin Siregar mendalilkan bahwa penggunaan teleconference itu merupakan instrumen untuk mencari kebenaran materil. Akan tetapi Mahkamah Agung tidak menerima pemeriksaan saksi melalui teleconference, dengan dalil bahwa dalam sistem hukum civil law, yurisprudensi bersifat persuasif. “Sehingga tak ada kewajiban bagi hakim di Indoensia menggunakan  teleconference dan bukan pula merupakan keharusan menurut  hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia untuk menggunakan teleconference dalam proses pemeriksaaan saksi”.[5]
Memang  jika dikaitkan dengan KUHAP sepintas pemeriksaan saksi melalui teleconference bertentangan dengan ketentuan pasal 160 ayat (1)  dan pasal 167 ayat (1) KUHAP.  Pada ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a  KUHAP menyebutkan “saksi di panggil ke ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum terdakwa”. Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 167 ayat (1) KUHAP, “setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya”. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kehadiran seorang saksi secara fisik dituntut untuk hadir dan memberi kesaksian dalam persidangan.
Akan tetapi jika  kita mencermati kembali ketentuan pasal 185 ayat (1) KUHAP,  secara tegas menyatakan bahwa “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan”. Sehingga kata menyatakan di depan sidang disini menjadi tidak jelas (abscur), oleh karena KUHAP sendiri tidak menjelaskan atau menegaskan dalam memberikan keterangan di depan sidang saksi harus hadir secara langsung (fisik) ke persidangan untuk memberikan keterangan. Di kalangan praktisi hukum kalimat yang menyatakan “keterangan saksi dinyatakan di depan persidangan” menimbulkan celah untuk ditafsirkan, terlebih celah ini secara eksplisit termuat dalam ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak harus dihadirkan ke pengadilan, yaitu :
1.     Saksi diperbolehkan memberi keterangan secara tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim, atau camat.
2.      Keterangan saksi dapat diperiksa lewat teleconference.
3.      Pemeriksaannya seperti mistery guest, yang memberikan keterangan dalam ruangan khusus.[6]

Selain itu keterangan saksi melalui sarana teleconference telah memenuhi ketentuan  pasal 185 ayat (1) KUHAP  yang pada pokoknya menyatakan “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan”, dimana keterangan saksi secara teleconference juga dinyatakan di depan persidangan akan tetapi tidak secara langsung (fisik) hadir dalam persidangan. Dari ketentuan tersebut, memang secara tekstual tidak dituntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang sidang. Akan tetapi pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP, pada intinya mengatur bahwa kehadiran fisik seorang saksi adalah mutlak. Namun kenyataannya  untuk mencari dan menegakan kebenaraan materiil yang berujung pada keadilan terhadap hal yang tekstual tersebut, dalam praktik sedikit ditinggalkan.
Pemikirkan mengenai pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa sejatinya telah ada jauh sebelumnya, hal ini terbukti dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan kaidah hukum : “keterangan saksi yang tidak dapat hadir di persidangan karena suatu halangan yang sah pada dasarnya tetap di sumpah. Dan keterangannya tersebut sama nilaianya dengan kesaksian di bawah sumpah”.
Aspek ini sebenarnya harus dilakukan di dunia peradilan di Indonesia apabila tidak ingin di pandang negatif oleh masyarakat.[7] Dengan dasar yuridis ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dalam menggali, mengikuti, memahami dan mengejar kebenaraan materiil dalam hukum pidana maka aspek formal hendaknya ditinggalkan secara selektif.[8]

2.      PENGERTIAN KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE
Salah satu perubahan yang fundamental di dalam KUHAP adalah telah diperkenalkannya cara pemeriksaan saksi dari jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal dengan teleconference.
Teleconference yaitu hubungan jarak jauh antara orang satu dengan yang lain, dimana kita dapat mendengar suara dan gambar lawan bicara kita secara real time.[9]
Menurut kamus istilah teknologi informasi, teleconference adalah pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dilakukan melewati telefon atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut dapat hanya menggunakan suara (audio conference) atau menggunakan video (video conference) yang memungkinkan peserta konfrensi saling melihat.[10]
Teleconference: the live exchange of information among persons and machines remote from one anither but linked by a telecommunications system.[11] (teleconfrensi : pertukaran informasi yang diambil langsung diantara orang-orang dan mesin-mesin yang jauh satu sama lain tetapi dihubungkan dengan suatu sistem telecomunikasi-telecomunikasi).
Selanjutnya pengertian video teleconference : 1. Teleconference that includes video communications. 2. Pertaining to a two way electronic communications system that permits two or more persons in different locations to engage in the equivalent of face to face audio ang video communications.[12] (teleconfrensi video: 1. Sebuah telekonfrensi yang memasukkan komunikasi-komunikasi video. 2. Yang menyinggung mengenai suatu sitem komunikasi elektronik dua arah yang memberikan dua atau lebih orang di tempat-tempat yang berbeda untuk menggunakan komunikasi-komunikasi audio dan video yang sama dengan komunikasi yang saling berhadap-hadapan).
Menurut Husna Amalia video conference yang juga dikenal dengan video teleconference adalah “suatu teknologi telekomunikasi interaktif yang memungkinkan dua lokasi atau lebih untuk berinteraksi lewat video dan audio secara simultan”.[13]
 Teleconference juga dapat diartikan sebagai pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dilakukan melewati telepone atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut hanya dapat menggunakan suara (audio conference) atau menggunakan video (video conference) yang memungkinkan peserta konferensi saling melihat secara bersamaan. Secara harfiah teleconference juga dapat diartikan konferensi, artinya pertemuan jarak jauh antara beberapa orang yang fisiknya berada pada lokasi yang berbeda secara geografis. pembicaraan bisa dilakukan secara realtime dan interaktif dengan dukungan infrastruktur jaringan serta perangkat multimedia. [14]
Realtime yaitu waktu nyata, waktu sesungguhnya, istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu aksi dapat dipantau pada waktu aksi tersebut terjadi. Pada konsep teleconference diartikan bahwa setiap aksi yang disorot pada media merupakan kejadian pada saat yang sama atau dalam istilah lain yaitu siaran langsung (live). Interaktif  yaitu kemampuan sistem / program yang bisa menanyakan sesuatu pada pengguna (mengadakan tanya jawab), kemudian mengambil tindakan berdasarkan respon tersebut. Infrastruktur yaitu prasarana yang digunakan.[15]
Multimedia yaitu berbagai media. Istilah bagi transmisi data dan manipulasi semua bentuk informasi, baik berbentuk kata-kata, gambar, video, musik, angka, atau tulisan tangan.[16]
Macam-macam teleconference :
a.   audio conference, di mana orang-orang tersebut bisa berbicara seperti dalam pembicaraan telepon, namun ini melibatkan lebih dari dua orang.
b.   video conference yang memungkinkan orang-orang tersebut saling melihat melalui layar monitor yang tersedia. Perangkat yang dibutuhkan pun tergantung dari conference apa yang dilakukan.[17]

Bertitik tolak dari pandangan tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan saksi secara teleconference adalah pembuktian dengan saksi dimana keberdaan saksi tidak dalam sidang pengadilan, tetapi keberadaan saksi di luar sidang pengadilan. Tetapi saksi tersebut tetap melakukan kesaksian dengan menggunakan alat komunikasi jarak jauh (teleconference).
Ciri spesifik dari teleconference yang memiliki nuansa hukum yaitu “pertemuan dimaksud harus memiliki dampak atau akibat hukum”.[18] Misalkan teleconference yang dilakukan dalam rangka memberikan suatu keterangan atau kesaksian di pengadilan.  Dimana dalam memberi kesaksian, saksi harus memenuhi ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yaitu mengucapkan sumpah atau janji serta keterangan tersebut diberikan oleh saksi mengenai apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri serta menyebut alasan pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27 KUHAP).

3.       PENGATURAN MENGENAI KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE
Dewasa ini keterangan saksi yang disampaikan di depan sidang pengadilan mengalami perluasan pengertian yang sesuai dengan perkembangan masyarakat di bidang teknologi dan hukum. Terhadap hal ini (perkembangan teknologi dan hukum) sejatinya peraturan perundang-undangan kita  telah diakomodir dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
  1. Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan :
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.       alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.       dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

  1. Pasal 27, pasal 33, dan pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang :
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a.      Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana.
b.      Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
c.       Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan / atau didengar, yang dapat dekeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik ataupun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas kepada :
(1)   Tulisan suara atau gambar
(2)   Peta, rancangan foto, atau sejenisnya
(3)   Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memehaminya.

Pasal 33 : Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

Pasal 34 ayat (1) : Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
a.      perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b.      kerahasiaan identitas saksi;
c.       pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Pasal 34 ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Pasal 38 Undang-Undang  Nomor 15 Tahun 2002  tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiamana diubah dengan Undang-Undang Nomor  25 tahun 2003 :
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucuian uang berupa :
a.      Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
b.      Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Pasal 1 angka 7 : Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a.      tulisan, suara, atau gambar;
b.      peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c.       huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

  1. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban :
ayat (1) : Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa.
ayat (2)            : Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
ayat (3) : Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Menurut joko ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak harus dihadirkan ke pengadilan, yaitu :
1.   Saksi diperbolehkan memberi keterangan secara tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim, atau camat.
2.      Keterangan saksi dapat diperiksa lewat teleconference.
3.   Pemeriksaannya seperti mistery guest, yang memberikan keterangan dalam ruangan khusus.[19]

  1. Pasal 29 dan pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang :
Pasal 29 : Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa :
a.      Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.      data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :
1)      tulisan, suara, atau gambar;
2)      peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3)  huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 30 : Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang sanksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.

  1. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik :
Pasal 44 : Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a.      alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b.      alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Pasal 1 angka 1 : Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 1 angka 4 :  Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 5 ayat (1) : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Pasal 5 ayat (2) : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 5 ayat (3) :  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

  1. Pasal 4 huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat :
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

  1.  Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Terorisme :
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh aparat hukum dan aparat keamanan berupa:
a.      perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b.      kerahasiaan identitas saksi;
c.    pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Selain itu sandaran mengenai prosedur khusus pemeriksaan saksi secara teleconference dalam dunia Internasional, telah tegas diatur dalam ketentuan pasal 22 Statuta Yugoslavia 1993, pasal 21 Statuta Rwanda 1995, dan pasal 68 angka 2 Statuta Roma 1998 yang intinya menyatakan bahwa prosedur khusus pemeriksaan demi melindungi saksi dan/atau korban, adalah dengan melakukan persidangan in camera atau memberikan keterangan dengan sarana elektronik atau alat-alat khusus lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis uraikan isi ketentuan pasal tersebut diatas :
Ketentuan pasal 22 Statuta Yugoslavia 1993 menyebutkan bahwa : The International Tribunal shall provide in its rules of procedure and evidence for the protection of victims and witnesses. Such protection measures shall include, but shall not be limited to, the conduct of in camera proceedings and the protection of the victim's identity. (Pengadilan Internasional wajib memberikan dalam aturan prosedur dan bukti untuk perlindungan korban dan saksi. Tindakan perlindungan tersebut termasuk, namun tidak terbatas pada, perilaku dalam proses kamera dan perlindungan indentitas korban).
Ketentuan pasal 21 Statuta Rwanda 1995 menyebutkan hal yang sama, yaitu : “The International Tribunal for Rwanda shall provide in its rules of procedure and evidence for the protection of victims and witnesses. Such protection measures shall include, but shall not be liminted to, the conduct of in camera proceedings and the protection of the victim’s identity.” (Pengadilan International untuk Rwanda akan memberikan dalam aturan tata kerjanya dan bukti untuk perlindungan korban dan saksi. Tindakan perlindungan tersebut termasuk, namun tidak akan terbatas pada, prilaku dalam proses kamera dan perlindungan identitas korban).
Senada dengan  pasal-pasal yang telah penulis uraikan sebelumnya, ketentuan pasal 68 angka 2 dalam Statuta Roma 1998 juga mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, yang dijelaskan sebagai berikut :
    As an exception to the principle of public hearings provaide for in article 67, the Chambers of the court may, to protect victims and witnesses or an accused, conduct any part of the procedings in camera or allow the presentation of evidence by electronic or other special means. In particular, such measures shall be imlpemented in the case of a victim of sexual violence or a child who is a victimor a witness, unless otherwise ordered by the court, having regard to all the circumstances, particularly the views of the victim or witnees.
 (Sebagai pengecualian prinsip audiensin publik diatur dalam pasal 67, Chambers dari Pengadilan dapat, untuk melindungi korban dan saksi atau Terdakwa, melakukan setiap bagian dari proses kamera atau memungkinkan penyajian bukti dengan khusus elektronik atau lainnya berarti. Secara khusus, langkah-langkah tersebut harus diterapkan dalam kasus korban kekerasan seksual atau seorang anak yang menjadi korban atau saksi, kecuali bila diperintah oleh Pengadilan, setelah mempertimbangkan semua keadaan, khususnya pandangan korban dan saksi).

Secara faktual pemeriksaan secara teleconference di Indonesia pernah di praktekan sebanyak 5 kali, dalam persidangan Rahardi Ramelan, Pengadilan HAM Ad Hoc Timor – Timur, persidangan Ali Gufron Alias Muklas, serta persidangan Abu Bakar Ba'asyir.
1.      Dalam Persidangan rahardi Ramelan di dasarkan atas Surat Penetapan Nomor : 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut  :
a. Bahwa pemeriksaan atas perkara terdakwa telah sampai pada pemeriksaan saksi-saksi yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran materiil ;
b.   Bahwa salah satu saksi yang tercantum dalam berita Acara Pemeriksaan penyidik adalah saksi B.J. Habibie yang hingga persidangan hari ini berada dan atau berdomisili di kota Hamburg Jerman sehingga yang bersangkutan tidak dapat hadir dimuka persidangan untuk memberikan keterangan sebagai saksi yang dikarenakan keluarga / istrinya yang bernama Nyonya Haris Habibie  dalam  keadaan sedang menderita sakit yang tidak dapat ditinggalkan ;
c. Bahwa keterangan saksi B.J. Habibie menurut majelis hakim sangat perlu di dengar untuk kepentingan pemeriksaan terdakwa dalam rangka  mencari  kebenaraan materiil ;
d.  Bahwa berkenaan dengan adanya kendala keberadaan saksi B.J. Habibie di Jerman, sedangkan persidangan pengadilan dilaksanakan di Jakarta majelis hakim melihat salah satu solusinya adalah dengan menggunakan / memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada saat ini ;
e.  Bahwa majelis hakim berpendapat keterangan saksi B.J. Habibie tetap dipandang perlu untuk didengar secara langsung dimuka persidangan dengan memanfaatkan teleconference ;
f.     Bahwa pemanfaatan teknologi teleconference selain dimaksudkan untuk mempermudah mendengar keterangan saksi B.J. habibie dimaksudkan juga agar masyarakat luas dapat mengikuti pemeriksaan perkara terdakwa secara transparan ;
g. Bahwa dalam rangka pelaksanaan persidangan jarak jauh melalui tehnik dan sarana video teleconference tersebut, diharapkan peran serta dari jaksa penuntut umum untuk memberitahukan saksi B.J. Habibie dan melakukan approach dengan konsultan Jenderal Republik Indonesia di kota Hamburg Jerman sebagai tempat yang ditentukan majelis hakim untuk persidangan dimaksud ;
h.    Bahwa pada saat persidangan berlangsung saksi B.J. Habibie didampingi oleh seorang Konsultan Jenderal Republik Indonesia ;
i.  Bahwa pemeriksaan saksi B.J. Habibie yang berada di Kantor Konsultan Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan proses persidangan yang berlangsung di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ;
j.   Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, majelis hakim memandang perlu untuk menetapkan hari persidangan dalam rangkan pemeriksaan saksi B.J. Habibie dengan memanfaatkan teknologi teleconference sebagaimana tersebut pada bagian akhir penetapan ini ;
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut,  majelis  hakim  menetapkan :
-       Menyatakan pemeriksaan saksi B.J. Habibie dalam perkara pidana No. 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan, atas nama terdakwa Rahardi Ramelan, dilakukan dengan cara persidangan jarak jauh  dengan   tehnik  teleconference ;
-    Menetapkan tempat pemeriksaan saksi di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman ;
-      Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum mengahadirkan saksi B.J. Habibie di Kontor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di kota Hamburg Jerman, pada hari selasa, tanggal 2 Juli 2002 pikil 09.00 waktu Hamburg Jerman dan atau pukul 14.00 WIB, guna didengar kesaksiannya dalam perkara Terdakwa Rahardi Ramelan, dengan didampingi staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat. [20]

2.      Dalam pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur, dalam persidangan ini pemeriksaan saksi secara virtual didasarkan atas Surat Penetapan No. 08/Pid.HAM Ad Hoc 2002/PN Jakarta Pusat tertanggal 3 Desember 2002 untuk menggelar sidang melalui teleconference dalam pemeriksaan sejumlah saksi kasus pelanggaran berat HAM Timor-Timur (Timtim). Dalam penetapannya, Andi Samsan Nganro menegaskan, sebagai berikut :
  1. Bahwa Majelis Hakim memandang perlu untuk mendengarkan keterangan sejumlah saksi korban serta saksi Uskup Belo guna memperoleh pembuktian materiil yang akurat.
  2. Bahwa dasar pelaksanaaan pemeriksaan saksi dengan teleconference juga mengacu pada yurisprudensi penggunaan teleconference pada pemeriksaan B.J. Habibie, yaitu pada kasus dugaan penyalahgunaan dana non budgeter bulog sebesar Rp 62.900.000.000,00 (Enam puluh dua milyar sembilan ratus juta rupiah) oleh Terdakwa mantan Menperindag atau Kabulog Rahardi Ramelan, pada tanggal 2 Juli 2002.
  3. Bahwa dasar pelaksanaaan pemeriksaan saksi dengan teleconference didasarkan pula pada PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat membuka peluang bagi pemeriksaan saksi tanpa kehadiran di persidangan secara langsung. Pengaturan tersebut terletak pada Pasal 4 huruf c Bab II tentang bentuk-bentuk perlindungan pada PP No. 2 Tahun 2002 yaitu : “perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi pemberian keterangan pada saat pemeriksaan sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.”
  4. Bahwa sidang teleconference pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta, dilaksanakan Senin 16 Desember 2002 dalam perkara pelanggaran HAM berat Timor Leste atas Terdakwa mantan Danrem 164 / Wira Dharma Brigjen Noer Muis.[21]

3.      Dalam persidangan kasus Makar atasnama Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir, pemeriksaan saksi secara teleconference di dasarkan atas Surat Penetapan bernomor : 547/Pid.B/2003/PN. Jkt. Pst. tertanggal 19 juni 2003, dengan pertimbangan hukumnya sebagai berikut :
1.      Untuk mewujudkan prinsip penyelenggaraan peradilan yang baik dan jujur ;
2.   Bahwa ternyata dalam Berita Acara Pemeriksaan ada saksi-saksi berada di  Malaysia dan  Singapura ;
3.  Bahwa keterangan saksi-saksi yang berada di kedua Negara tersebut perlu didengar dan diuji kebenarannya untuk mendapatkan kebenaran materiil ;
4.    Bahwa jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi dengan menggunakan media teleconference dengan ketentuan sebagai berikut :
a.      Demi objektifitas, pemeriksaan saksi-saksi akan dihadiri dan disaksikan oleh wakil / utusan PN. Jakarta Pusat, Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum Terdakwa dan utusan / wakil dari keduataan besar kedua negara ;
b.       Tempat yang akan dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan saksi akan disesuaikan dengan aturan hukum dan diserahkan pada kebijakan kedua negara.[22]

4.  Teleconference dalam persidangan Ali Gufron Alias Muklas, polarisasi pemikiran majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang menyidangkan kasus atas nama terdakwa Ali Gufron Alias Muklas menggelar persidangan secara teleconference pada pemeriksaan saksi Wan Min Bin Wan Mat yang berada di Malaysia. Didasarkan atas argumen sebagai berikut : 
a.    Bahwa memang benar teleconference tidak diatur dalam KUHAP karena pembuat Undang-Undang pada waktu itu tentunya tidak menyadari adanya revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat sehingga KUHAP tidak mampu mengantisipasinya. Apabila mengacu secara kaku / formal legalistic memang teleconference tidak sesuai dengan ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang sidang. Akan tetapi, Majelis Hakim dengan tolak ukur ketentuan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 (sekarang diatur dalam pasal 5  ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan keHakiman) mewajibkan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana, aspek formal hendaknya bisa ditinggalkan secara selektif.
b.    Bahwa pada dasarnya KUHAP dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil sehingga teleconference hanyalah sekedar sarana untuk mencari kebenaran materiil tersebut sehingga apa salahnya apabila dimanfaatkan.
c.     Bahwa dalam persidangan teleconference saksi juga bisa hadir di ruang sidang secara virtual. Semua pihak boleh juga menguji keterangan saksi dan keterangannyapun.[23]

5.  Berdasarkan Surat Penetapan Nomor : 148/PEN.PID/2011/PN.Jkt.Sel. Tanggal 10 Maret 2011, penggunaan Teleconference dalam perkara peradilan tindak pidana Terorisme atas nama Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir, kembali dilaksanakan. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 148/PEN.PID/2011/PN.Jkt.Sel. Tanggal 10 Maret 2011, pada pokoknya mengabulkan permohonan pemeriksaan secara teleconference atas 16 saksi tersebut dengan dasar dan argumentasi hakim sebagai berikut:
a.       Bahwa dasar hukum pemeriksaan saksi-saksi secara teleconference adalah sebagai berikut :
-       Pasal 33 jo. Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme jadi Undang-Undang ;
-    Pasal 2 jo. Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme ;
-         Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
b.    Bahwa konsekuensi Hukum diakuinya azas kesamaan di depan Hukum (equality before the law), maka dalam system dan proses peradilan pidana di Indonesia, selain korban, terhadap saksi juga harus diberikan jaminan perlindungan hukum.
c.    Bahwa perlindungan hukum bagi saksi dan korban didasarkan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, agar dapat memberikan rasa aman dan adil serta kepastian Hukum.[24]

Sejatinya perkembangan mengenai penyajian teleconference di pengadilan untuk memeriksa saksi juga terpengaruh dari adanya adagium yang menyatakan  “bahwa hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal”.[25] Sehingga di perlukan adanya terobosan hukum yang di bentuk oleh hakim, yang merupakan kewajiban bagi hakim itu sendiri untuk selalu menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk memenuhi rasa keadilan.
Oleh karena pemeriksaan secara teeleconfrence di Indonesia tidak di atur dalam KUHAP, melainkan hanya diatur secara tersamar dalam undung-undang yang secara lex specialist mengatur mengenai perkembangan alat bukti, sedangkan ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai teleconference terdapat dalam yurisprudensi. Di Indonesia sendiri yurisprundesi tersebut bersifat “Persuasive precedent” atau  hanya sebagai sumber hukum dalam arti formal. Indonesia juga tidak mengenal asas precedent  (bukan sebagai the binding force of the precedent) tegasnya tidak mengenal stare decisis atau asas stare decisis et quita non movere (yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti keputusan pengadilan yang lebih tinggi).[26]  Maka untuk menggunakan/memanfaatkan media teleconference dalam pemeriksaan di persidangan menjadi sah, majelis hakim perlu mengeluarkan penetapan secara khusus untuk terlaksananya teleconference. Hal ini berarti bahwa proses pemberian kesaksian melalui teleconference ini tidak dapat secara otomatis digunakan sebagai peraturan yang langsung dapat diterapkan.[27]

4.       LEGALITAS KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE
Dalam pengertian yuridis, tentang bukti dan alat bukti, telah dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil atau peristiwa,[28] Alat bukti, alat pembuktian, bewijs middle adalah alat-alat yang dipergunakan untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu dalil di muka pengadilan, misalnya :  kesaksian, bukti-bukti tulisan, persangkaan, sumpah dan lain-lain”.[29]
Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. Secara garis besar pembuktian juga berarti :
-         Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum masing-masing terikat pada ketentuan tata cara penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang.
-           Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkannya dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang secara “limitatif”, sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP.[30]

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagi berikut :
a.       Harus mengucapkan sumpah atau janji
Menurut pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberi keterangan ia wajib memberikan sumpah atau janji, akan tetapi pada ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memeberikan keterangan. Dengan demikian saat pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan (promissoris) namun dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan maka sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberi keterangan (assertoris). Akan tetapi jika saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alsan yang sah, saksi tersebut dapat dikenakan panyanderaan yang dilakukan berdasarkan penetapan hakim ketua sidang paling lama 14 hari (pasal 161 KUHAP).
b.      Keterangan saksi yang dinilai sebagai alat bukti
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang ditegaskan dalam pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu 
  • yang saksi lihat sendiri,
  • saksi dengar sendiri dan bukan saksi hanya mendengar dari orang lain (testimonium de auditu)
  • dan saksi alami sendiri,
  • serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
c.       Keterangan saksi yang diberikan di sidang pengadilan
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP, dengan demikian keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang ia dengar, ia lihat dan yang ia alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu dinyatakan saksi di pengadilan.
d.      Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat (2), keterangan seorang  saksi saja belum dapat diambil sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unnus testis nullus testis.  Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, memperhatikan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh pasal 185 ayat (2), yaitu:
  • Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus    didukung oleh dua orang saksi;
  • Atau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.
-         e.  Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di disidang pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian belum tentu keterangan mereka secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan terdakwa.[31] Hal ini sesuai dengan amanah pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menjelaskan bahwa “keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya kejadian atau keadaan tertentu”.
Apabila syarat-syarat sah keterangan saksi tersebut telah terpenuhi maka keterangan yang telah diberikan oleh seorang saksi itu telah mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat diakui sebagai alat bukti. Keterangan saksi tersebut akan dijadikan pertimbangan hakim untuk memberikan putusan atas suatu tindak pidana.
Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai saksi yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Yang dimaksud dengan kesaksian menurut M. Karjadi dan R. Soesilo yaitu suatu keterangan dengan lisan  di muka Hakim dengan sumpah tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.[32]
Jika ketentuan mengenai saksi diatas diterapkan dalam kesaksian yang diberikan secara teleconference dalam persidangan yang memanfaatkan media teleconference pemeriksaannya, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Keterangan saksi dimuka sidang pengadilan
Penggunaan teleconference dalam hal ini telah menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukan oleh seorang saksi di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seorang saksi di muka persidangan sebagaimana dimaksud secara fisik juga terpenuhi dengan menggunakan teleconference.
b.      Dengan disumpah terlebih dahulu
Sebagaimana ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi teleconference tidak jauh berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.
c.       Tentang peristiwa tertentu yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Nontestimonium de Auditu).
Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya.[33]

Selain ketiga ketentuan mengenai saksi yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan pula asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Sehingga jangan sampai penggunaan teleconference justru melanggar ketentuan asas dalam peradilan pidana karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologi teleconference tersebut.
Dalam permeriksaan saksi secara teleconference asas biaya ringan ini telah terpenuhi, penggunaan media teleconference di pengadilan tidak lagi bertentangan dengan asas biaya ringan oleh karena sekarang ini penggunaan teleconferece sudah relatif murah dengan diperkenalkannya teknik video dua arah. Sehingga dengan terjangkaunya biaya penyelengaaraan teleconference maka teknologi inipun dapat digunakan oleh setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh dianggap perlu oleh Majelis Hakim.
Untuk memperkuat argument penulis diatas, berikut penulis kemukakan pendapat para pakar hukum mengenai pemeriksaan saksi secara teleconference :
Menurut  RM. Sudikno Mertokusumo, pakar hukum perdata dan hukum acara perdata, beliau berpendapat bahwa “kalau peristiwa kongrit tersebut tidak diatur sama sekali dalam undang-undang, maka yang harus dipertanyakan apakah peristiwa konkret itu bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum atau tidak? “Kalau tidak, untuk apa dilarang.”?[34]. Pendapat ini dikuatkan Muchsan, Mantan Hakim Agung, ia menyatakan bahwa ”jika suatu hal belum diatur, itu tidak berarti hal tersebut dilarang. Apalagi teleconference dilakukan demi manfaat dan kepentingan umum”.[35]
Dan sebagai salah satu penganut paham sosiologis, hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Arsyad Sanusi. Juga turut bersuara, menurutnya ”keterangan saksi melalui teleconference sama nilainya dengan saksi yang disumpah. Bahkan, sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkal keterangan saksi lain via teleconference, maka keterangan telconference tersebut bisa menjadi alat bukti yang sah”.[36]Sepanjang tidak ada rekayasa, kebohongan, dan intimidasi dari berbagai pihak, termasuk dari aparat penegak hukum. Ringkasnya: sepanjang menjunjung asaz kejujuran, tranparansi, dan berkeadilan, tidak ada masalah dengan kesaksian via teleconference, walau belum diatur dalam hukum acara”, lanjut Bambang Sukamto yang melengkapi pendapat Arsyad.[37]
Menurut mantan Menkeh dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, bahwa “keterangan saksi secra teleconference itu bobotnya sama dengan kesaksian tertulis (affidavit) ataupun keterangan yang diucapkan di bawah sumpah”.[38]
Sebagai pakar hukum sekaligus penulis buku tentang KUHAP. Luhut MP Pangaribuan menjelaskan bahwa sejatinya, teleconference bisa dijadikan alat bukti untuk mencari kebenaran materiil. Menurutnya, tempat kesaksian tidaklah terlalu penting dalam mencari kebenaran materiil itu. Hukum acara, seperti juga pasal 184 KUHAP (aturan mengenai keterangan saksi) pada hakikatnya juga merupakan arahan atau sebagai petunjuk untuk mencari kebenaraan materiil.[39] Terlebih  dalam persidangan teleconference, saksi juga bisa hadir di ruang sidang secara virtual. Jadi, sebenarnya tak ada bedanya. Semua pihak juga boleh menguji keterangan dari saksi. Keterangannya pun bisa didengar oleh semua pihak.[40]  Pendapat ini juga diamini oleh Agus Subekti (Hakim Pengadilan Negeri Denpasar), yang  mengungkapkan bahwa kesaksian secara teleconference adalah merupakan suatu asas yang berkembang pada era globalisasi seperti saat ini, sehingga kesaksian secara teleconference dalam persidangan tidak perlu di permasalahan / diperdebatkan oleh karena keterangan saksi secara teleconfrece adalah sama dengan keterangan saksi secara konvensional yang bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (wawancara pada tanggal 20 Oktober 2011).
Namun jika kita menelaah kembali ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP, spintas memang ketentuan tersebut mensyaratkan kehadiran secara fisik di muka persidangan, akan tetapi kehadiran secara fisik di muka persidangan dalam hal ini harus diartikan kehadiran fisik keterangan kesaksiannya. Jadi memperluas pengertian di muka persidangan sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Pemeriksaan saksi secara teleconference juga termasuk dalam pengertian pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan kepada saksi atau para saksi.[41]
Penafsiran hukum terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut hukum acara pidana merupakan terobosan yang perlu dilakukan dalam kaitannya untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri. Hal tersebut diperlukan agar Hakim tidak terbelenggu dengan hanya bepedoman pada alat-alat bukti yang konvensional semata, yang akan mengakibatkan suatu ketidak adilan oleh karena jika Hakim terbelenggu dengan tidak melakukan terobosan hukum serta hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang konvensional maka dipastikan banyak dakwaan Jaksa Penuntut Umum akan mental, tandas Erly Soelistyarini melengkapi pendapatnya diatas.
Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor  2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggarah HAM Berat, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Tatacara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Terorisme, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, merupakan tonggak kemajuan dalam menyikapi pemeriksaan saksi secara teleconference dengan telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara pidana.
Akan tetapi kembali lagi bahwa diterima atau tidaknya suatu alat bukti di persidangan ditentukan oleh hakim. Namun tidak semua alat bukti yang diterima di dalam persidangan adalah layak di percaya dan berbobot.
Pengalaman dan analisis hakim merupakan paduan terbaik yang dapat digunakan untuk menentukan barang bukti mana yang layak untuk dianggap kridibel. Dalam mengevaluasi penggunaan alat bukti di dalam persidangan, perhatian perlu difokuskan pada keterkaitan antara alat bukti tersebut dengan hal yang hendak dibuktikan kebenarannya.

5.      Simpulan
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai keterangan saksi secara teleconference dalam pembuktian perkara pidana, sebagai berikut :
a.    Bahwa legalitas pembuktian melalui keterangan saksi secara teleconference adalah legal / sah menurut hukum sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  •  Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (pasal 160 ayat (3) jo. pasal 185 ayat (7)  KUHAP) 
  •  Keterangan saksi dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual / teleconference di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari pasal 185 ayat (1) KUHAP)
  • Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27 KUHAP)
  • Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (pasal 185 ayat (6) KUHAP)
b. Bahwa kekuatan pembuktian (kracht beweijs) dari kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference, jika dihubungkan dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 184 KUHAP, baik secara langsung maupun melalui penafsiran hukum, maka kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference dapat digolongkan sebagai alat bukti keterangan saksi sebagaimana diataur dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, sehingga kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference ini adalah sah dan dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian perkara pidana, sedangkan mengenai kekuatan hukum keterangan saksi secara teleconference, memiliki kekuatan hukum sama dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.




[1] M. Yahya Harahap,  2005, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali.,Sinar Grafika, Jakarta .h. 273.

[2] Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa Dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, h. 26.

[3] H. M. Arsyad Sanusi, et. Al. 2003, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik (Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana, Badan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, h.3.

[4] Facta Pos, Klarifikasi Hakim Lakukan Teleconference, data diakses tanggal 25 Mei 2011, alvalaible from: URL : http://www.faktapos.com/content/lain-lain/4814-klarifikasi-Hakim-lakukan-teleconference.html

[5] Hukum Online.com, Menggugat Dasar Pemeriksaan Saksi Melalui Teleconference, data diakses tanggal 19 September 2011 :  http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d832f081d0ee/menggugat-dasar-pemeriksaan-saksi-melalui-iteleconferencei (selanjutnya di singkat Hukum Online.com I)

[6]  Hukum Online.com, Saksi Tak Hadir di Persidangan Tak Langgar KUHAP, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4cb47c75e9c18/saksi-tak-hadir-di-persidangan-tak-langgar-kuhap (selanjutnya di singkat Hukum Online.com II).

[7] Lilik Mulyadi, 2008,  Bungan Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, h. 125 (selanjutnya di singkat Lilik Mulyadi I).

[8] Ibid, h. 126.

[9] Sasongko Adhi Nugroho, Analisis Kedudukan Dan Kekuatan Pembuktian Digital Evidence Dalam Pembuktian Perkara Korupsi (Suatu Studi Terhadap UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://www.digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/128040408201011481.pdf h. 40.
       
[10] Fathul Wahid, 2002, Kamus Istilah Teknologi Informasi, Ed. I, Andi Yogyakarta, Yohyakarta.

[11] Saut Erwin Hartono A. Munthe, Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Dalam Proses Persidangan Perkara Pidana, data diakses tanggal 21 Oktober 2011, alvalaible from: URL: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353

[12] Ibid.

[13] Anonim, Bab II Tinjauan Pustaka, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL : httprepository.upi.eduoperatoruploads_d0551_060214_chapter2.pdf

[14] Anonim, Bab II Tinjauan Pustaka, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=26498. h. 49.

[15] Ibid.

[16] Ibid. h. 50.

[17] Ibid.

[18] Grace Wahyuni, Keabsahan RUPS Teleconference Dan Tanda Tangan Elektronik, data diakses tanggal 6 September 2011, alvalaible from: URL: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128943-T%2026707-Keabsahan%20tanda-HA.pdf
 
[19]  Hukum Online.com, Saksi Tak Hadir di Persidangan Tak Langgar KUHAP, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4cb47c75e9c18/saksi-tak-hadir-di-persidangan-tak-langgar-kuhap

[20] Sherly Adam, 2008, “Keterangan Saksi Melalui Teleconference Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 121-124.

[21] Sekar Dianing Pertiwi Soetanto, Perkembangan alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pada kuhap dan Undang-Undang khusus di Indonesia, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL :   http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/02807200908591.pdf, h. lxvi – lxvii.

[22] H. M. Arsyad Sanusi, et. Al, Op. Cit, h. 91

[23] Lilik Mulyadi, Op. Cit, h. 123.

[24] Facta Pos, Loc. Cit. 

[25] Supriyadi Widodo Eddyono. Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL: http://perlindungansaksi.files.wordpress.com/2008/05/perlindungan-saksi-di-pengadilan-ham-beberapa-masalahnya.pdf, h. 4.

[26] Melita Kristin B.R , Perbandingan Hukum Pidana,  data diakses tanggal 9 September 2011, alvalaible from: URL:http://melitanotlonely.multiply.com/journal/item/14/pembahasan_Midtest_PERBANDINGAN_HUKUM_PIDANA

[27] Supriyadi Widodo Eddyono, Loc. Cit.

[28] Soesilo Prajogo, 2007, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Wipress, h. 26.

[29] Ibid, h. 71.

[30] M. Yahya Harahap, Op. Cit. h. 274.

[31] Ibid. h. 289.

[32] M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar, Politeia, Bandung, h. 164

 [33] Muhammad Rustamaji, Teleconference Dalam Kacamata Hukum Pembuktian, data diakses tanggal 24 Agustus 2011 http://rustamaji1103.wordpress.com/2008/02/11/teleconference-dalam-kacamata-hukum-pembuktian/

[34] Budhy Setiawan Marwan, Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban, Buletin Kesaksian, Ed. No.II. 2011.

[35] Ibid. 
[36] Ibid, h. 11

[37] Ibid.

[38] Koran Tempo, Teleconference Bisa Menjadi Yurisprudensi, data di akses tanggal 20 September 2011, alvalaible from: URL: http://www.arsip.net/id/link.php?lh=Bg4ABQRRA1YB

 

[39] Hukum Online.com, Menguji Kesaksian Secara Virtual, data di akses tanggal 20 September 2011, alvalaible from: URL: http://hukumonline.com/berita/baca/hol8278/menguji-kesaksian-secara-virtual  (selanjutnya di singkat Hukum Online.com III).

 

[40] Lalu Mariyun, et. Al. Intisari Penyelenggaraan Sidang Pengadilan Dengan Metode Teleconference Ditinjau Dari Aspek Hukum Pembuktian (Studi Kasus Perkara Pidana No. 354/PID/B/2002/PN.JAK-SEL.), data di akses tanggal 20 September 2011, alvalaible from: URL: http://www.scribd.com/doc/32685142/Saksi-Wajib-Hadir-Di

[41] Sherly Adam, Op. Cit, h. 107.