1.1.Pendahuluan
Munculnya wancana untuk
merivisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(selanjutnya disingkan UU KPK), memunculkan berbagai spekulai terkait dengan
pelemahan institusi yang merupakan ujung tombak pemerantasan korupsi di
Indonesia, oleh karena dalam revisi tersebut kewenangan KPK secara sedikit demi
sedikit mulai dibonsai. Salah satu pembatasan kewenangan KPK adalah mempersulit
penyadapan koruptor yang selama ini banyak melahirkan bukti keterlibatan
sejumlah pihak.
Penyadapan atau interception menjadi ramai diperbincangan kembali setelah RPP
Penyadapan dipertentangan karena melanggar 5 (lima) undang-undang yang ada
diatasnya. Padahal sebagaimana dilontarkan oleh Romli Atmasasmita bahwa
“salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan
organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan
menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping)”.
Kedua teknik tersebut
terbukti merupakan teknik yang handal daalm membongkar tuntas organisasi
kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban
dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditahan.
Penyadapan yang
dilakukan oleh KPK merupakan salah satu kewenangan luar biasa yang dimiliki
Komisi Pemberantasan Korupsi dari Sembilan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang,
yaitu antara lain :
a.
Memerintahkan kepada instansi yang
terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri ;
b.
Meminta keterangan kepada bank atau
lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang
sedang diperiksa ;
c.
Memerintahkan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi
memiliki tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait ;
d.
Memerintahkan kepada pemimpin atau
atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya ;
e.
Meminta data kekayaan dan data
perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait ;
f.
Menghentikan suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka
atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa ;
g.
Meminta bantuan hukum Interpol Indonesia
atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri ;
h.
Meminta bantuan kepolisian atau instansi
lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Penyadapan yang
dilakukan KPK terbukti mampu membuka skandal kasus-kasus korupsi besar. Pada
tahun 2008 setelah terbentuknya UU KPK, sepotong pembicaraan Urip dan orang
suruhan taipan Sjamsul Nursalim, Arthalyta Suryani, terlacak. Kontak telepon itu
membicarakan seputar ekspose kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Percakapan berlanjut. Wanita yang dikenal dengan panggilan Ayin itu berjanji
menyiapkan sesuatu. Hanya beberapa hari setelah pembicaraan itu, Urip diringkus
petugas KPK. Dia dituding menerima dana USD 660 ribu untuk memuluskan
penyelidikan BLBI.
Tak sampai di situ.
Rekaman itu juga membuka tabir penegakan hukum. Betapa tidak, beberapa saat
setelah penangkapan Urip, Ayin bisa melobi pejabat Kejagung berinisial UUS
untuk mengamankan kasusnya. Yang mengagetkan pembicaraan dilakukan saat
keduanya dalam tahanan. Setelah menjalani persidangan, keduanya dijatuhi
hukuman maksimal, Ayin diganjar 5 tahun penjara, sedangkan Urip lebih berat 20
tahun penjara. Ini kasus paling fenomenal yang diungkap KPK terkait penyadapan.
Selang beberapa hari
setelah penangkapan tersebut, penyadapan yang dilakukan KPK kembali memakan
korban. Kali ini, yang ditangkap adalah Al Amin Nur Nasution, anggota DPR dari
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama pejabat penyuapnya, Sekda
Bintan Azirwan yang dituding telah menerima suap terkait alih fungsi hutan
lindung untuk pembangunan hutan lindung. Ini kasus pertama KPK yang mengungkap
suap di parlemen. Dalam kasus Al Amin, KPK berhasil melacak pemerasan Al Amin
terhadap rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan alat global positioning
system (GPS). Yakni, dari PT Almega Geosystem Rp 650 juta dan PT Data Script Rp
186 juta. Dalam persidangan dia juga terbukti mengancam kedua rekanan itu agar
memberikan uang.
Setelah dua kasus besar
itu, berturut-turut terungkap korupsi pengadaan kapal patroli di Departemen
Perhubungan, yang menyeret anggota DPR Bulyan Royan. Melalui penyadapan pula,
KPK berhasil mengusut dugaan suap petinggi First Media Billy Sindoro menjelang
dijatuhkannya keputusan sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kasus
ini menyeret komisioner Muhammad Iqbal. Yang tak kalah heboh, terbongkarnya
dugaan suap dalam pembahasan dana stimulus di DPR. Lagi-lagi, kasus ini
menyeret peran anggota DPR, Abdul Hadi Djamal. Penyadapan pula yang berhasil
menguak perancangan dugaan krirninalisasi terhadap dua pimpinan KPK Chandra M.
Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Pada dasarnya,
penyadapan digunakan dalam usaha mengungkapkan kejahatanNamun, belakangan penyadapan
di KPK justru mendapatkan banyak kritikan. Sebab, akibat penyadapan itu tak
jarang persoalan pribadi terungkap ke publik. Dalam satu percakapan, transaksi
korupsi agak sulit dipisahkan dari persoalan pribadi.
1.2.Tinjauan
Tentang Penyadapan
Aksi penyadapan
sebetulnya punya cerita panjang. Pada masa kolonial, Keputusan Raja Belanda 25
Juli 1893 No 36, bisa dianggap peraturan tertua. Beleid itu mengatur penyadapan informasi pada lalu lintas surat di
kantor pos seluruh nusantara.
Setelah melewati
perjalanan yang cukup panjang, pengaturan mengenai penyadapan di era reformasi
sekarang ini telah banyak bertebaran dalam peraturan perundang-undangan.
Seperti yang tercantum dalam penjelasan Pasal 32 UU Intelijen Negara disebutkan
“Yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah
kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, menubah, menghambat, dan/atau
mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, baik
menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti
pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi, termasuk memeriksa paket, pos,
surat-menyurat, dan dokumen lain”.
Lalu ditegaskan kembali dalam penjelasan
pasal 31 ayat (1) UU No 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah “Kegiatan
untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau
mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan
nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.
Menurut Penjelasan UU ITE, Pasal 31
disebutkan bahwa “Intersepsi atau
penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah,
menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel
komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau
radio frekuensi”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE,
yang dimaksud dengan “informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy, atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
Memahaminya”.
Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE
menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “dokumen
elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan
dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Selain itu, yang dimaksud dengan sistem
elektronik menurut pasal 1 angka 5 adalah ”serangkaian
perangkat atau prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau
menyebarkan informasi elektronik”.
Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 7
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006
Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, yang dimaksud dengan “penyadapan informasi adalah mendengarkan,
mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak
Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi
tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut”.
1.3.Penyadapan dan Hak Asasi
Manusia
Hak
atas Privasi di Indonesia dijamin perlindungannya di dalam Konstitusi
Indonesia, khususnya sebagaimana ditegaskan di
dalam Pasal 28 F dan pasal G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan :
“Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungannya, serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan mengolah dan
menyampaiakn informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
”Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”.
Meski
bagian dari perlindungan konstitusional, namun pengaturan privasi di
Indonesia justru lemah, karena ketiadaan UU yang secara khusus menjamin hak
atas privasi tersebut. Namun demikian ada beberapa ketentuan yang bisa menjadi
rujukan dalam perlindungan hak atas privasi dalam konteks penyadapan di
antaranya adalah:
a.
Ketentuan Pasal 21 UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan perlindungan terhadap Hak Pribadi seseorang,
ketentuan tersebut menyatakan :
“Setiap
orang berhak atas keutuhan kehidupan pribadinya, baik
jasmani maupun
rohani,
sehingga tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya”.
Demikian pula dalam ketentuan pasal
14 UU tersebut yang menyatakan :
"Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang juga berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
Masih dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan
Pasal 32, juga ikut memberikan jaminan terhadap hak atas rasa aman dari ancaman
ketakutan yang menyatakan :
"Kemerdekaan dan rahasia dalam
hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik
tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan";
b.
Ketentuan
pasal 8 ayat (1) Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, yang
menyatakan bahwa :
“setiap orang berhak
atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumahtangganya
dan surat-menyuratnya”.
c.
Ketentuan Pasal 17 Konvenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976, sebagaimana telah dilakukan
pengesahan oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan :
“Tidak boleh seorang pun yang dengan
sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya,
keluaraganya, rumah tangganya atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh
dicemati kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah";
Ketentuan ini menekankan pada pembatasan kewenangan Negara untuk
melakukan pengawasan rahasia terhadap suatu individu. Dalam pasal tersebut
dikatakan:
(1)
No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference
with his privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on
his honour and reputation.
(2)
Everyone has the right to the protection of the law against such
interference or attacks.
d.
Ketentuan Pasal 17 ICCPR
tersebut kemudian didetailkan oleh Komentar Umum Nomor 16 yang disepakati oleh
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada persidangan ke
dua puluh tiga, Tahun 1988, yang memberikan komentar terhadap materi muatan
Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik, pada point 8 dinyatakan :
"...bahwa
integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure
dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa
halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan
(surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan
telepon, telegram, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman
pembicaraan harus dilarang";
e.
Ketentuan Pasal 40 UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan :
"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui
jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun";
f.
Dalam penjelasan Pasal 40
Telekomunikasi disebutkan bahwa :
"yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau
perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan
informasi dengan cara tidak sah. Pada
dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus
dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang";
g. Pasal 31 ayat (1) UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :
“Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang
lain”.
Selanjutnya di dalam Pasal 31 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi
Elektronik disebutkan :
“Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan
di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan”.
Lebih jelasnya Pasal 31 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan :
“Kecuali intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) intersepsi yang dilakukan dalam
rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi
penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang”.
Dalam
khazanah hukum HAM internasional, berkali-kali bahkan disebutkan bahwa menjadi
hak asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights), bagi setiap
orang untuk tidak dikenakan tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang
tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya atau barang milik pribadinya, termasuk
di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh pejabat negara yang melakukan
proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak pidana. Penegasan
ini sebagaimana juga tertera di dalam Universal
Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah menegaskan bahwa :
“No one
shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family,
home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone
has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.
Dengan demikian,
dapatlah disimpulkan bahwa jika dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia, maka jelaslah penyadapan merupkan sesuatu pelanggran
terhadap hak privasi seseorang atas kemerdekaan dan kerahasiaan, sehingga
bertentangan pula dengan asas non self incrimination yang berlaku secara universal, dimana tidak
seorangpun dapat dipaksa / diwajibkan memberi bukti-bukti yang dapat
memberatkan dirinya dalam suatu perkara pidana.
Selain bertentangan dengan asas non self incrimination penyadapan juga bertentangan dengan asas unlawful
legal evidence oleh karena bukti penyadapan merupakan suatu alat bukti yang diperoleh
dengan cara yang tidak sah atau cenderung melanggar hukum (melanggar hak
privasi seseorang).
Meskipun
demikian penyadapan dapat dibenarkan jika dilakukan dalam kerangka penegakan
hukum, sebagaimana dikatakan Erdianto Efendi bahwa atas nama penegakan hukum
maka sejumlah tindakan yang sejatinya adalah pelanggaran HAM dapat dibenarkan.
Penangkapan, penahan, penyitaan dan penggeledahan bahkan pidana mati telah
dibenarkan dalam hukum acara pidana. Sejati dan senyatanya, perbuatan tersebut
adalah pelanggaran HAM yang nyata. Dalam hukum pidana khusus, bahkan banyak asas-asas
HAM yang sengaja dilanggar seperti asas berlaku surut (rekroatif).[1]
Ia juga
menambahkan bahwa penegakan hukum dengan melanggar HAK dapat dibenarkan
sepanjang dilakukan dengan pembatasan dan aturan yang ketat serta dilakukan
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan HAM yang lebih besar. Berkaitan dengan tindak pidana korupsi,
kepentingan yang ingin dilindungi jauh lebih besar yaitu kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara.[2]
Sejalan
dengan hal tersebut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan bernomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 di perkuat
dengan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006
telah secara gambalng memberikan
penjelasan mengenai hak privasi. Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights), sehingga Negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan
hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konteks ini (penyadapan), Undang-Undang yang dimaksud dalam ketentuan
pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
UU KPK pada pasal 12 ayat (1), pasal
31 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, pasal 40 UU Telekomunikasi dan Permen No. 11 tahun 2006 mengenai
aturan teknis tentang Penyadapan, dan ketentuan pasal 73 Undang-Undang No.39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia
Komentar Para Pakar tentang Penyadapan :
1. Mohammad
Fajrul Falaakh, anggota Komisi Hukum Nasional, dan ahli hukum tata negara dari
UGM menyatakan :
“Undang-Undang penyadapan harus
mengatur jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun
meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori
subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau
izin hakim sebelum menyadap, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan
terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan”.[3]
2. Menurut Direktur Pusat Kajian
Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Muchtar :
“sangat
tidak etis, kalau penyadapan dilakukan untuk tujuan pengungkapan kasus yang
tidak pernah dipermasalahkan karena dapat mengusik hak privasi seorang”.[4]
3. Wakil Ketua Komisi Pertahanan dan
Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Gumiwang menyatakan :
“bahwa
negara antikorupsi yang relative bersih, seperti Korea Selatan dan Australia,
memiliki pengaturan yang jelas tentang penyadapan. Hal ini agar penggunaan
penyadapan tidak digunakan untuk hal-hal di luar kasus korupsi sehingga
melanggar HAM dan orang merasa dizalimi karena penyadapan yang tidak sesuai
dengan aturan tersebut”.
4. Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Evert Ernest
Mangindaan berpendapat :
“bahwa
penyadapan tidak boleh dilakukan secara bebas. Harus ada aturan tertentu
mengenai penyadapan tersebut”.
[1] Erdianto Effendi, Kewenangan KPK
Untuk Melakukan Penyadapan, Desain Hukum, Vol. 10, No. 1 Jan-Peb 2010, h. 24.
[2] Ibid.
[3] Anggara, Hak Privasi dan Kontroversi Penyadapan, Vivanews.com http://nasional.vivanews.com/news/read/206967-hak-privasi-dan-kontroversi-penyadapan
[4] Sudiman Sidabukke, Tinjauan Kewenangan Penyadapan Oleh KPK
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, data diakses pada tanggal….. alvailble URL
From : http://repository.ubaya.ac.id/133/1/Makalah%20Penyadapan%20KPK.pdf.