Kamis, 26 April 2012

LEGALITAS PENYADAPAN OLEH KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


1.1.Pendahuluan
Munculnya wancana untuk merivisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkan UU KPK), memunculkan berbagai spekulai terkait dengan pelemahan institusi yang merupakan ujung tombak pemerantasan korupsi di Indonesia, oleh karena dalam revisi tersebut kewenangan KPK secara sedikit demi sedikit mulai dibonsai. Salah satu pembatasan kewenangan KPK adalah mempersulit penyadapan koruptor yang selama ini banyak melahirkan bukti keterlibatan sejumlah pihak.
Penyadapan atau interception menjadi ramai diperbincangan kembali setelah RPP Penyadapan dipertentangan karena melanggar 5 (lima) undang-undang yang ada diatasnya. Padahal sebagaimana dilontarkan oleh Romli Atmasasmita bahwa “salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping)”.
Kedua teknik tersebut terbukti merupakan teknik yang handal daalm membongkar tuntas organisasi kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditahan.
Penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan salah satu kewenangan luar biasa yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi dari Sembilan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang, yaitu antara lain :
a.       Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri ;
b.      Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa ;
c.       Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi memiliki tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait ;
d.      Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya ;
e.       Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait ;
f.       Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa ;
g.      Meminta bantuan hukum Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri ;
h.      Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Penyadapan yang dilakukan KPK terbukti mampu membuka skandal kasus-kasus korupsi besar. Pada tahun 2008 setelah terbentuknya UU KPK, sepotong pembicaraan Urip dan orang suruhan taipan Sjamsul Nursalim, Arthalyta Suryani, terlacak. Kontak telepon itu membicarakan seputar ekspose kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Percakapan berlanjut. Wanita yang dikenal dengan panggilan Ayin itu berjanji menyiapkan sesuatu. Hanya beberapa hari setelah pembicaraan itu, Urip diringkus petugas KPK. Dia dituding menerima dana USD 660 ribu untuk memuluskan penyelidikan BLBI.
Tak sampai di situ. Rekaman itu juga membuka tabir penegakan hukum. Betapa tidak, beberapa saat setelah penangkapan Urip, Ayin bisa melobi pejabat Kejagung berinisial UUS untuk mengamankan kasusnya. Yang mengagetkan pembicaraan dilakukan saat keduanya dalam tahanan. Setelah menjalani persidangan, keduanya dijatuhi hukuman maksimal, Ayin diganjar 5 tahun penjara, sedangkan Urip lebih berat 20 tahun penjara. Ini kasus paling fenomenal yang diungkap KPK terkait penyadapan.
Selang beberapa hari setelah penangkapan tersebut, penyadapan yang dilakukan KPK kembali memakan korban. Kali ini, yang ditangkap adalah Al Amin Nur Nasution, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama pejabat penyuapnya, Sekda Bintan Azirwan yang dituding telah menerima suap terkait alih fungsi hutan lindung untuk pembangunan hutan lindung. Ini kasus pertama KPK yang mengungkap suap di parlemen. Dalam kasus Al Amin, KPK berhasil melacak pemerasan Al Amin terhadap rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan alat global positioning system (GPS). Yakni, dari PT Almega Geosystem Rp 650 juta dan PT Data Script Rp 186 juta. Dalam persidangan dia juga terbukti mengancam kedua rekanan itu agar memberikan uang.
Setelah dua kasus besar itu, berturut-turut terungkap korupsi pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan, yang menyeret anggota DPR Bulyan Royan. Melalui penyadapan pula, KPK berhasil mengusut dugaan suap petinggi First Media Billy Sindoro menjelang dijatuhkannya keputusan sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kasus ini menyeret komisioner Muhammad Iqbal. Yang tak kalah heboh, terbongkarnya dugaan suap dalam pembahasan dana stimulus di DPR. Lagi-lagi, kasus ini menyeret peran anggota DPR, Abdul Hadi Djamal. Penyadapan pula yang berhasil menguak perancangan dugaan krirninalisasi terhadap dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Pada dasarnya, penyadapan digunakan dalam usaha mengungkapkan kejahatanNamun, belakangan penyadapan di KPK justru mendapatkan banyak kritikan. Sebab, akibat penyadapan itu tak jarang persoalan pribadi terungkap ke publik. Dalam satu percakapan, transaksi korupsi agak sulit dipisahkan dari persoalan pribadi.

1.2.Tinjauan Tentang Penyadapan
Aksi penyadapan sebetulnya punya cerita panjang. Pada masa kolonial, Keputusan Raja Belanda 25 Juli 1893 No 36, bisa dianggap peraturan tertua. Beleid itu mengatur penyadapan informasi pada lalu lintas surat di kantor pos seluruh nusantara.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, pengaturan mengenai penyadapan di era reformasi sekarang ini telah banyak bertebaran dalam peraturan perundang-undangan. Seperti yang tercantum dalam penjelasan Pasal 32 UU Intelijen Negara disebutkan “Yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, menubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi, termasuk memeriksa paket, pos, surat-menyurat, dan dokumen lain”.
Lalu ditegaskan kembali dalam penjelasan pasal 31 ayat (1) UU No 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah “Kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.
Menurut Penjelasan UU ITE, Pasal 31 disebutkan bahwa “Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan “informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
Memahaminya”.
Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Selain itu, yang dimaksud dengan sistem elektronik menurut pasal 1 angka 5 adalah ”serangkaian perangkat atau prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau menyebarkan informasi elektronik”.
Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, yang dimaksud dengan “penyadapan informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut”.


1.3.Penyadapan dan Hak Asasi Manusia
Hak atas Privasi di Indonesia dijamin perlindungannya di dalam Konstitusi Indonesia, khususnya sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28 F dan pasal G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan mengolah dan menyampaiakn informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Meski bagian dari perlindungan konstitusional, namun pengaturan privasi di Indonesia justru lemah, karena ketiadaan UU yang secara khusus menjamin hak atas privasi tersebut. Namun demikian ada beberapa ketentuan yang bisa menjadi rujukan dalam perlindungan hak atas privasi dalam konteks penyadapan di antaranya adalah:
a.       Ketentuan Pasal 21 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan perlindungan terhadap Hak Pribadi seseorang, ketentuan tersebut menyatakan :
“Setiap orang berhak atas keutuhan kehidupan pribadinya, baik jasmani maupun rohani, sehingga tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya”.
Demikian pula dalam ketentuan pasal 14 UU tersebut yang menyatakan :
"Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
Masih dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan Pasal 32, juga ikut memberikan jaminan terhadap hak atas rasa aman dari ancaman ketakutan yang menyatakan :
"Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan";
b.      Ketentuan pasal 8 ayat (1) Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, yang menyatakan bahwa :
“setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumahtangganya dan surat-menyuratnya”.
c.       Ketentuan Pasal 17 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976, sebagaimana telah dilakukan pengesahan oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan :
“Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluaraganya, rumah tangganya atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemati kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah";
Ketentuan ini menekankan pada pembatasan kewenangan Negara untuk melakukan pengawasan rahasia terhadap suatu individu. Dalam pasal tersebut dikatakan:
(1)      No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation.
(2)      Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.
d.      Ketentuan Pasal 17 ICCPR tersebut kemudian didetailkan oleh Komentar Umum Nomor 16 yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada persidangan ke dua puluh tiga, Tahun 1988, yang memberikan komentar terhadap materi muatan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak  Sipil dan Politik, pada  point 8 dinyatakan :
 "...bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegram, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang";
e.       Ketentuan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan :
"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun";
f.       Dalam penjelasan Pasal 40 Telekomunikasi disebutkan bahwa :
"yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi  dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang";
g.    Pasal 31 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa :
 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”.
Selanjutnya di dalam Pasal 31 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen  Elektronik yang sedang ditransmisikan”.
Lebih jelasnya Pasal 31 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan :
“Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang”.
Dalam khazanah hukum HAM internasional, berkali-kali bahkan disebutkan bahwa menjadi hak asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights), bagi setiap orang untuk tidak dikenakan tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya atau barang milik pribadinya, termasuk di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh pejabat negara yang melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak pidana. Penegasan ini sebagaimana juga tertera di dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah menegaskan bahwa :
No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa jika dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia, maka jelaslah penyadapan merupkan sesuatu pelanggran terhadap hak privasi seseorang atas kemerdekaan dan kerahasiaan, sehingga bertentangan pula dengan asas non self incrimination yang berlaku secara universal, dimana tidak seorangpun dapat dipaksa / diwajibkan memberi bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya dalam suatu perkara pidana. Selain bertentangan dengan asas non self incrimination penyadapan juga bertentangan dengan asas unlawful legal evidence oleh karena bukti penyadapan merupakan suatu alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau cenderung melanggar hukum (melanggar hak privasi seseorang).
Meskipun demikian penyadapan dapat dibenarkan jika dilakukan dalam kerangka penegakan hukum, sebagaimana dikatakan Erdianto Efendi bahwa atas nama penegakan hukum maka sejumlah tindakan yang sejatinya adalah pelanggaran HAM dapat dibenarkan. Penangkapan, penahan, penyitaan dan penggeledahan bahkan pidana mati telah dibenarkan dalam hukum acara pidana. Sejati dan senyatanya, perbuatan tersebut adalah pelanggaran HAM yang nyata. Dalam hukum pidana khusus, bahkan banyak asas-asas HAM yang sengaja dilanggar seperti asas berlaku surut (rekroatif).[1]
Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum dengan melanggar HAK dapat dibenarkan sepanjang dilakukan dengan pembatasan dan aturan yang ketat serta dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan HAM yang lebih besar.  Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, kepentingan yang ingin dilindungi jauh lebih besar yaitu kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.[2]
Sejalan dengan hal tersebut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan bernomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 di perkuat dengan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006 telah secara gambalng memberikan penjelasan mengenai hak privasi. Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga Negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks ini (penyadapan), Undang-Undang yang dimaksud dalam ketentuan pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah UU KPK pada pasal 12 ayat (1), pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 40 UU Telekomunikasi dan Permen No. 11 tahun 2006 mengenai aturan teknis tentang Penyadapan, dan ketentuan pasal 73 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia

Komentar Para Pakar  tentang Penyadapan :
1.      Mohammad Fajrul Falaakh, anggota Komisi Hukum Nasional, dan ahli hukum tata negara dari UGM menyatakan :
“Undang-Undang penyadapan harus mengatur jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan”.[3]
2.      Menurut Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Muchtar :
“sangat tidak etis, kalau penyadapan dilakukan untuk tujuan pengungkapan kasus yang tidak pernah dipermasalahkan karena dapat mengusik hak privasi seorang”.[4]
3.  Wakil Ketua Komisi Pertahanan dan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Gumiwang menyatakan :
“bahwa negara antikorupsi yang relative bersih, seperti Korea Selatan dan Australia, memiliki pengaturan yang jelas tentang penyadapan. Hal ini agar penggunaan penyadapan tidak digunakan untuk hal-hal di luar kasus korupsi sehingga melanggar HAM dan orang merasa dizalimi karena penyadapan yang tidak sesuai dengan aturan tersebut”.
4.  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Evert Ernest  Mangindaan berpendapat :
“bahwa penyadapan tidak boleh dilakukan secara bebas. Harus ada aturan tertentu mengenai penyadapan tersebut”.


[1] Erdianto Effendi, Kewenangan KPK Untuk Melakukan Penyadapan, Desain Hukum, Vol. 10, No. 1 Jan-Peb 2010, h. 24.

[2] Ibid.

[3] Anggara, Hak Privasi dan Kontroversi Penyadapan, Vivanews.com http://nasional.vivanews.com/news/read/206967-hak-privasi-dan-kontroversi-penyadapan

[4] Sudiman Sidabukke, Tinjauan Kewenangan Penyadapan Oleh KPK Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, data diakses pada tanggal….. alvailble URL From : http://repository.ubaya.ac.id/133/1/Makalah%20Penyadapan%20KPK.pdf.