I.
PENDAHULUAN
Pembuktian
memegang peranan penting dalam proses
pemeriksaan sidang
pengadilan. Dengan pembuktian
inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang- undang tidak
cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dapat
dibebaskan dari hukuman dan
sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa harus
dinyatakan bersalah, kepadanya harus dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu para hakim harus
hati-hati, cermat dan matang
menilai dan mempertimbangkan
masalah pembuktian.[1]
Sistem
pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana, merupakan suatu sistem pembuktian di depan pengadilan
agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat yang mutlak yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yaitu : alat bukti
yang cukup serta sah dan keyakinan hakim. Alat bukti
yang sah dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan pasal 184
ayat (1) KUHAP antara lain : keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa.
Ada beberapa perbedaan
yang mendasar dalam sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara
perdata dengan sistem hukum acara pidana. Dalam hukum acara perdata menganut
sistem pembuktian secara positif, dalam sistem pembuktian positif yang dicari
oleh hakim adalah kebenaran formal, sedangakan sistem
pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana adalah sistem pembuktian
negatif, dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaraan materiil, yang berarti
bahwa di dalam mencari kebenaran hakim tidak terikat pada keterangan atau alat-alat bukti yang digunakan oleh jaksa penuntut umum/terdakwa saja, bahkan hakim
dilarang menerima kebenaran peristiwa berdasarkan pengakuan terdakwa
semata-mata karena tujuan hukum acara pidana bukanlah menyelesaiakan sengketa.[2]
Dalam
hukum acara pidana pengakuan mengenai sistem pembuktian secara negatif secara
ekplisit telah tercantum dalam ketentuan pasal 183 KUHAP, yang menyebutkan
bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Salah
satu alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 butir 27
KUHAP maka yang harus diterangkan oleh saksi dalam sidang adalah :
a.
apa
yang saksi lihat sendiri;
b.
apa yang saksi
dengar sendiri ; dan
c.
apa yang saksi
alami sendiri
Namun
faktanya sekarang keterangan saksi telah mengalami perkembangan, seiring dengan
berkembangnya pengetahuan masyarakatan di bidang teknologi komunikasi dan
informasi saat ini, dalam praktek peradilan pidana keterangan saksi tidak lagi
diberikan secara langsung (fisik) harus dipersidangan untuk memberikan
kesaksiannya. Dewasa ini dalam dunia peradilan Indonesia telah diperkenalkan cara
pemeriksaan saksi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang
dikenal dengan istilah teleconference.
Padahal
KUHAP tidak mengenal bukti-bukti elektronik maupun ketentuan-ketentuan tentang
prosedur pemeriksaan saksi lewat
sarana teknologi informasi (teleconference), seperti yang pernah
terjadi dalam sidang perkara pidana dengan
terdakwa Rahardi Ramelan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang memeriksa saksi mantan Presiden Indonesia B.J.
Habibi dengan menggunkan teleconference.
Prosedur pemeriksaan memakai sarana teknologi dengan cara teleconference tersebut, baru pertama kali terjadi dan diperaktekan
dalam sejarah peradilan Indonesia.[3]
Setelah pemberian kesaksian melalui teleconference yang
dilakukan oleh B.J. Habibie, selanjutnya giliran saksi-saksi kasus pelanggaran
HAM berat di Timor-Timur yang meminta PN. Jakarta Pusat untuk mengambil kesaksian mereka secara
teleconference demi alasan keamanan dan efisiensi waktu. PN. Jakarta
Pusat dengan berbagai pertimbangan itu akhirnya mengabulkan permintaan mereka
untuk mengambil kesaksian dari saksi-saksi tersebut secara teleconference.
Kesaksian teleconference tersebut
dilaksanakan di kota Dili, sementara terdakwa duduk di kursi pesakitan PN. Jakarta
Pusat.
Begitu pula dengan persidangan Abu
Bakar Ba’asyir, terdakwa
kasus rencana pengeboman beberapa gereja di malam Natal tahun 2000 dan rencana
pembunuhan kepada Megawati yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wakil
Presiden. Saksi-saksi yang akan didengarkan kesaksiannya dalam persidangan
tersebut berada di Singapura dan status mereka adalah tahanan pihak kepolisian
negara Singapura. Tidak gampang untuk menghadirkan Faiz Bafana dan Ja’far bin
Misrooki ke ruang persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi
mengingat statusnya tersebut. Maka dari itu digunakanlah media teleconference
untuk memberikan kesaksian pada persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Para saksi
memberikan keterangannya dari bekas gedung Kementerian Dalam Negeri Singapura kepada
sidang yang digelar di PN. Jakarta
Pusat.
Pemeriksaan
saksi jarak jauh (teleconference) untuk
di Bali sendiri juga pernah dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dalam
kasus terorisme Bom Bali yang terdakwanya adalah Ali
Gufron alias Muklas alias Sofwan yang
mengahdirkan saksi Wan Min bin Wan Matematika yang
berada di Malaysia yang
kesaksiannya diberikan dari jarak jauh secara teleconference.
Pada tahun 2011 ini pemeriksaan
saksi melalui teleconference kembali
diperaktekan dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir terhadap 16 saksi yang akan memberi
kesaksian, berdasarkan Surat Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor : 148 / PEN.PID / 2011 / PN.Jkt.Sel. tanggal 10 Maret 2011,
yang pada pokoknya mengabulkan permohonan pemeriksaan saksi secara teleconference atas 16 saksi tersebut
dengan dasar dan argumentasi sebagai berikut:
1. Pasal 33
jo. Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 15 tahun. 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi Undang-Undang
2. Pasal 2
jo. Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara
Tindak Pidana Terorisme.
3. Pasal 9
ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.[4]
Kesaksian yang disampaikan melalui media teleconference
seperti contoh yang ada merupakan langkah yang besar dan baru di dalam dunia
hukum, khususnya hukum acara di Indonesia.
Namun tidak semua
permohonan pemeriksaan saksi dapat dilakukan dan diterima oleh Pengadilan,
seperti kasus Schapelle Leigh Corby yang permohonan untuk pemeriksaan melalui teleconference atau wawancara jarak jauh
tidak dapat diterima padahal penasehat hukum Corby, Erwin Siregar mendalilkan
bahwa penggunaan teleconference itu
merupakan instrumen untuk mencari kebenaran materil. Akan tetapi Mahkamah Agung
tidak menerima pemeriksaan saksi melalui teleconference,
dengan dalil bahwa dalam sistem hukum civil
law, yurisprudensi bersifat persuasif. “Sehingga tak ada kewajiban bagi hakim di Indoensia
menggunakan teleconference dan bukan pula merupakan keharusan menurut hukum
acara pidana yang berlaku di
Indonesia untuk menggunakan teleconference
dalam proses pemeriksaaan saksi”.[5]
Memang jika dikaitkan
dengan KUHAP sepintas pemeriksaan saksi melalui teleconference
bertentangan dengan ketentuan pasal 160 ayat (1) dan pasal 167 ayat (1) KUHAP. Pada ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf
a KUHAP menyebutkan “saksi di panggil ke
ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya
oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau
penasehat hukum terdakwa”. Kemudian
berdasarkan ketentuan pasal 167 ayat
(1) KUHAP, “setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang
kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk
meninggalkannya”. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kehadiran
seorang saksi secara fisik dituntut untuk hadir dan memberi kesaksian dalam
persidangan.
Akan tetapi jika kita mencermati kembali ketentuan pasal 185
ayat (1) KUHAP, secara tegas menyatakan bahwa “keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan sidang
pengadilan”. Sehingga kata menyatakan di depan sidang disini menjadi tidak
jelas (abscur), oleh karena KUHAP sendiri tidak menjelaskan atau
menegaskan dalam memberikan keterangan di depan sidang saksi harus hadir secara
langsung (fisik) ke persidangan untuk memberikan keterangan. Di kalangan
praktisi hukum kalimat yang menyatakan “keterangan saksi dinyatakan di depan
persidangan” menimbulkan celah untuk ditafsirkan,
terlebih celah ini secara eksplisit
termuat dalam ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan
ada tiga pilihan saksi tak harus dihadirkan ke pengadilan, yaitu :
1. Saksi diperbolehkan memberi keterangan secara
tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim, atau camat.
2.
Keterangan saksi dapat diperiksa lewat teleconference.
Selain itu keterangan
saksi melalui sarana teleconference
telah memenuhi ketentuan pasal 185 ayat (1) KUHAP yang pada
pokoknya menyatakan “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di depan sidang pengadilan”, dimana keterangan
saksi secara teleconference juga
dinyatakan di depan persidangan akan tetapi tidak secara langsung (fisik) hadir
dalam persidangan. Dari ketentuan tersebut, memang secara tekstual tidak
dituntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang sidang. Akan tetapi
pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP, pada intinya mengatur bahwa
kehadiran fisik seorang saksi adalah mutlak. Namun kenyataannya untuk mencari dan menegakan kebenaraan
materiil yang berujung pada keadilan terhadap hal yang tekstual tersebut, dalam
praktik sedikit ditinggalkan.
Pemikirkan mengenai pemeriksaan tanpa
hadirnya terdakwa sejatinya telah ada jauh sebelumnya, hal ini terbukti dari putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan kaidah hukum : “keterangan saksi yang tidak dapat hadir
di persidangan karena suatu halangan yang sah pada dasarnya tetap di sumpah. Dan keterangannya tersebut sama nilaianya dengan kesaksian di bawah
sumpah”.
Aspek ini sebenarnya
harus dilakukan di dunia peradilan di Indonesia apabila tidak ingin di pandang
negatif oleh masyarakat.[7]
Dengan dasar yuridis ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dalam
menggali, mengikuti, memahami dan mengejar kebenaraan materiil dalam hukum
pidana maka aspek formal hendaknya ditinggalkan secara selektif.[8]
2.
PENGERTIAN KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE
Salah satu perubahan
yang fundamental di dalam KUHAP adalah telah diperkenalkannya cara pemeriksaan
saksi dari jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal
dengan teleconference.
Teleconference
yaitu hubungan jarak jauh antara orang satu dengan yang lain, dimana kita dapat
mendengar suara dan gambar lawan bicara kita secara real time.[9]
Menurut kamus istilah teknologi informasi, teleconference adalah
pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dilakukan melewati
telefon atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut dapat hanya menggunakan suara
(audio conference) atau menggunakan video (video conference) yang
memungkinkan peserta konfrensi saling melihat.[10]
Teleconference:
the live exchange of information among persons and machines remote from one
anither but linked by a telecommunications system.[11]
(teleconfrensi : pertukaran informasi yang diambil langsung diantara
orang-orang dan mesin-mesin yang jauh satu sama lain tetapi dihubungkan dengan
suatu sistem telecomunikasi-telecomunikasi).
Selanjutnya pengertian video teleconference : 1.
Teleconference that includes video communications. 2. Pertaining to a two way
electronic communications system that permits two or more persons in different
locations to engage in the equivalent of face to face audio ang video
communications.[12]
(teleconfrensi video: 1. Sebuah telekonfrensi yang memasukkan
komunikasi-komunikasi video. 2. Yang menyinggung mengenai suatu sitem
komunikasi elektronik dua arah yang memberikan dua atau lebih orang di
tempat-tempat yang berbeda untuk menggunakan komunikasi-komunikasi audio dan
video yang sama dengan komunikasi yang saling berhadap-hadapan).
Menurut Husna Amalia video conference yang
juga dikenal dengan video teleconference adalah “suatu teknologi telekomunikasi
interaktif yang memungkinkan dua lokasi atau lebih untuk berinteraksi
lewat video dan audio secara simultan”.[13]
Teleconference
juga dapat diartikan sebagai pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
yang dilakukan melewati telepone atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut
hanya dapat menggunakan suara (audio conference) atau menggunakan video
(video conference) yang memungkinkan peserta konferensi saling melihat
secara bersamaan. Secara harfiah teleconference
juga dapat diartikan konferensi, artinya pertemuan jarak jauh antara beberapa
orang yang fisiknya berada pada lokasi yang berbeda secara geografis. pembicaraan bisa dilakukan
secara realtime dan interaktif dengan
dukungan infrastruktur jaringan serta perangkat multimedia. [14]
Realtime yaitu waktu nyata, waktu sesungguhnya, istilah yang digunakan
untuk menunjukkan suatu aksi dapat dipantau pada waktu aksi tersebut terjadi.
Pada konsep teleconference
diartikan bahwa setiap aksi yang disorot pada media merupakan kejadian pada saat yang sama atau dalam istilah
lain yaitu siaran langsung (live). Interaktif yaitu kemampuan sistem
/ program
yang bisa menanyakan sesuatu pada pengguna (mengadakan tanya jawab), kemudian
mengambil tindakan berdasarkan respon
tersebut. Infrastruktur yaitu prasarana yang digunakan.[15]
Multimedia
yaitu berbagai media. Istilah bagi transmisi data dan manipulasi semua bentuk informasi, baik berbentuk kata-kata, gambar, video, musik, angka, atau tulisan tangan.[16]
Macam-macam teleconference :
a. audio conference, di
mana orang-orang tersebut bisa berbicara seperti dalam pembicaraan telepon,
namun ini melibatkan lebih dari dua orang.
b. video
conference
yang memungkinkan orang-orang tersebut saling melihat melalui layar monitor
yang tersedia. Perangkat yang dibutuhkan pun tergantung dari conference apa yang dilakukan.[17]
Bertitik tolak dari pandangan tersebut
diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan saksi
secara teleconference
adalah pembuktian dengan saksi dimana keberdaan saksi tidak dalam sidang
pengadilan, tetapi keberadaan saksi di luar sidang pengadilan. Tetapi saksi
tersebut tetap melakukan kesaksian dengan menggunakan alat komunikasi jarak
jauh (teleconference).
Ciri spesifik dari teleconference yang memiliki nuansa
hukum yaitu “pertemuan dimaksud harus memiliki dampak atau akibat hukum”.[18]
Misalkan teleconference
yang dilakukan dalam rangka memberikan suatu keterangan atau kesaksian di
pengadilan. Dimana dalam memberi
kesaksian, saksi harus memenuhi ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yaitu mengucapkan
sumpah atau janji serta
keterangan tersebut diberikan oleh
saksi mengenai apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi
alami sendiri serta menyebut alasan pengetahuannya itu (pasal
1 angka 27 KUHAP).
3.
PENGATURAN MENGENAI KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE
Dewasa
ini keterangan saksi yang disampaikan di depan sidang pengadilan mengalami perluasan
pengertian yang sesuai dengan perkembangan masyarakat di bidang teknologi dan
hukum. Terhadap hal ini (perkembangan teknologi dan hukum) sejatinya peraturan perundang-undangan kita telah diakomodir dalam ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
- Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan :
Alat bukti yang sah
dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a.
alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.
dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
- Pasal 27, pasal 33, dan pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang :
Alat bukti
pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana.
b.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu;
dan
c.
Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan / atau
didengar, yang dapat dekeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik ataupun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas kepada :
(1)
Tulisan suara atau gambar
(2)
Peta, rancangan foto, atau sejenisnya
(3)
Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memehaminya.
Pasal 33 : Saksi, penyidik, penuntut
umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana
terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 34 ayat (1) : Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
a.
perlindungan
atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b.
kerahasiaan
identitas saksi;
c.
pemberian keterangan pada saat pemeriksaan
di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Pasal 34 ayat (2) :
Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 38 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiamana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 :
Alat bukti
pemeriksaan tindak pidana pencucuian uang berupa :
a.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
b.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Pasal 1 angka 7 : Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a.
tulisan, suara, atau gambar;
b.
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c.
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
- Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban :
ayat (1) : Saksi
dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar,
atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut
scdang diperiksa.
ayat (2) : Saksi dan/atau
Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan
pejabat yang berwenang dan membubuhkan
tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
ayat (3) : Saksi
dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh
pejabat yang berwenang.
Menurut joko ketentuan
pasal 9
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak harus
dihadirkan ke pengadilan, yaitu :
1. Saksi diperbolehkan memberi keterangan secara
tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim, atau camat.
2.
Keterangan saksi dapat diperiksa lewat teleconference.
- Pasal 29 dan pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang :
Pasal 29 : Alat bukti selain sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa :
a.
Informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
b.
data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas
pada :
1)
tulisan,
suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 30 : Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang
sanksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat
bukti yang sah lainnya.
- Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik :
Pasal 44 : Alat
bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut
ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a.
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b.
alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan
angka 4 serta pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3)
Pasal 1 angka 1 : Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic
data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Pasal 1 angka 4 : Dokumen Elektronik
adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal,
atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 5 ayat (1) : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Pasal 5 ayat (2) : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal 5 ayat (3) : Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Pasal 4 huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat :
Pemberian
keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
- Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Terorisme :
Perlindungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh aparat hukum dan aparat keamanan berupa:
a.
perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b.
kerahasiaan identitas saksi;
c.
pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Selain
itu sandaran mengenai prosedur
khusus pemeriksaan
saksi secara teleconference
dalam dunia Internasional, telah tegas diatur dalam ketentuan pasal 22 Statuta Yugoslavia
1993, pasal 21 Statuta
Rwanda 1995, dan pasal 68 angka
2 Statuta Roma 1998 yang intinya menyatakan bahwa
prosedur khusus pemeriksaan
demi melindungi saksi dan/atau korban, adalah dengan melakukan persidangan in camera atau memberikan
keterangan dengan sarana elektronik atau alat-alat khusus lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis uraikan isi
ketentuan pasal tersebut diatas :
Ketentuan
pasal 22 Statuta Yugoslavia 1993 menyebutkan bahwa : “The
International Tribunal shall provide in its rules of procedure and evidence for
the protection of victims and witnesses. Such protection measures shall
include, but shall not be limited to, the conduct of in camera proceedings and
the protection of the victim's identity.” (Pengadilan Internasional wajib memberikan dalam aturan
prosedur dan bukti untuk perlindungan korban dan saksi. Tindakan perlindungan
tersebut termasuk, namun tidak terbatas pada, perilaku dalam proses kamera dan
perlindungan indentitas korban).
Ketentuan
pasal 21 Statuta Rwanda 1995 menyebutkan hal yang sama, yaitu : “The International Tribunal for Rwanda shall
provide in its rules of procedure and evidence for the protection of victims
and witnesses. Such protection measures shall include, but shall not be
liminted to, the conduct of in camera proceedings and the protection of the
victim’s identity.” (Pengadilan
International untuk Rwanda akan memberikan dalam aturan tata kerjanya dan bukti
untuk perlindungan korban dan saksi. Tindakan perlindungan tersebut termasuk,
namun tidak akan terbatas pada, prilaku dalam proses kamera dan perlindungan
identitas korban).
Senada
dengan pasal-pasal yang telah penulis
uraikan sebelumnya, ketentuan pasal 68 angka 2 dalam Statuta Roma 1998 juga
mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, yang dijelaskan sebagai
berikut :
As an exception to the principle of public hearings
provaide for in article 67, the Chambers of the court may, to protect victims
and witnesses or an accused, conduct any part of the procedings in camera or
allow the presentation of evidence by electronic or other special means. In
particular, such measures shall be imlpemented in the case of a victim of
sexual violence or a child who is a victimor a witness, unless otherwise
ordered by the court, having regard to all the circumstances, particularly the
views of the victim or witnees.
(Sebagai pengecualian prinsip audiensin publik diatur dalam pasal 67,
Chambers dari Pengadilan dapat, untuk melindungi korban dan saksi atau Terdakwa,
melakukan setiap bagian dari proses kamera atau memungkinkan penyajian bukti
dengan khusus elektronik atau lainnya berarti. Secara khusus, langkah-langkah
tersebut harus diterapkan dalam kasus korban kekerasan seksual atau seorang
anak yang menjadi korban atau saksi, kecuali bila diperintah oleh Pengadilan,
setelah mempertimbangkan semua keadaan, khususnya pandangan korban dan saksi).
Secara faktual pemeriksaan secara teleconference
di Indonesia pernah di praktekan sebanyak 5 kali, dalam persidangan Rahardi
Ramelan, Pengadilan HAM Ad Hoc Timor – Timur, persidangan Ali Gufron Alias Muklas, serta persidangan Abu Bakar Ba'asyir.
1.
Dalam Persidangan rahardi Ramelan di dasarkan atas
Surat Penetapan Nomor : 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut :
a. Bahwa pemeriksaan atas perkara terdakwa telah
sampai pada pemeriksaan saksi-saksi yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran
materiil ;
b. Bahwa salah satu saksi yang tercantum dalam berita
Acara Pemeriksaan penyidik adalah saksi B.J. Habibie yang hingga persidangan
hari ini berada dan atau berdomisili di kota Hamburg Jerman sehingga yang
bersangkutan tidak dapat hadir dimuka persidangan untuk memberikan keterangan
sebagai saksi yang dikarenakan keluarga / istrinya yang bernama Nyonya Haris
Habibie dalam keadaan sedang menderita sakit yang tidak
dapat ditinggalkan ;
c. Bahwa keterangan saksi B.J. Habibie menurut majelis
hakim sangat perlu di dengar untuk kepentingan pemeriksaan terdakwa dalam
rangka mencari kebenaraan materiil ;
d. Bahwa berkenaan dengan adanya kendala keberadaan
saksi B.J. Habibie di Jerman, sedangkan persidangan pengadilan dilaksanakan di
Jakarta majelis hakim melihat salah satu solusinya adalah dengan menggunakan /
memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada saat ini ;
e. Bahwa majelis hakim berpendapat keterangan saksi
B.J. Habibie tetap dipandang perlu untuk didengar secara langsung dimuka
persidangan dengan memanfaatkan teleconference ;
f. Bahwa pemanfaatan teknologi teleconference
selain dimaksudkan untuk mempermudah mendengar keterangan saksi B.J. habibie
dimaksudkan juga agar masyarakat luas dapat mengikuti pemeriksaan perkara terdakwa
secara transparan ;
g. Bahwa dalam rangka pelaksanaan persidangan jarak
jauh melalui tehnik dan sarana video teleconference tersebut, diharapkan
peran serta dari jaksa penuntut umum untuk memberitahukan saksi B.J. Habibie
dan melakukan approach dengan konsultan Jenderal Republik Indonesia di
kota Hamburg Jerman sebagai tempat yang ditentukan majelis hakim untuk
persidangan dimaksud ;
h. Bahwa pada saat persidangan berlangsung saksi B.J.
Habibie didampingi oleh seorang Konsultan Jenderal Republik Indonesia ;
i. Bahwa pemeriksaan saksi B.J. Habibie yang berada di
Kantor Konsultan Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan proses persidangan yang berlangsung di
ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ;
j. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas, majelis hakim memandang perlu untuk menetapkan hari
persidangan dalam rangkan pemeriksaan saksi B.J. Habibie dengan memanfaatkan
teknologi teleconference sebagaimana tersebut pada bagian akhir
penetapan ini ;
Dari pertimbangan-pertimbangan
tersebut, majelis hakim menetapkan :
- Menyatakan
pemeriksaan saksi B.J. Habibie dalam perkara pidana No. 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta
Selatan, atas nama terdakwa Rahardi Ramelan, dilakukan dengan cara persidangan
jarak jauh dengan tehnik teleconference ;
- Menetapkan tempat pemeriksaan saksi di Kantor Konsulat Jenderal
Republik Indonesia di Hamburg Jerman ;
- Memerintahkan
Jaksa Penuntut Umum mengahadirkan saksi B.J. Habibie di Kontor Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di kota Hamburg Jerman, pada hari selasa, tanggal 2
Juli 2002 pikil 09.00 waktu Hamburg Jerman dan atau pukul 14.00 WIB, guna
didengar kesaksiannya dalam perkara Terdakwa Rahardi Ramelan, dengan didampingi
staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat. [20]
2.
Dalam
pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur,
dalam persidangan ini pemeriksaan saksi secara virtual didasarkan atas Surat Penetapan No. 08/Pid.HAM Ad Hoc 2002/PN Jakarta Pusat tertanggal 3
Desember 2002 untuk menggelar sidang melalui teleconference dalam pemeriksaan sejumlah saksi kasus pelanggaran
berat HAM Timor-Timur (Timtim). Dalam penetapannya, Andi Samsan Nganro
menegaskan, sebagai berikut :
- Bahwa Majelis Hakim memandang perlu untuk mendengarkan keterangan sejumlah saksi korban serta saksi Uskup Belo guna memperoleh pembuktian materiil yang akurat.
- Bahwa dasar pelaksanaaan pemeriksaan saksi dengan teleconference juga mengacu pada yurisprudensi penggunaan teleconference pada pemeriksaan B.J. Habibie, yaitu pada kasus dugaan penyalahgunaan dana non budgeter bulog sebesar Rp 62.900.000.000,00 (Enam puluh dua milyar sembilan ratus juta rupiah) oleh Terdakwa mantan Menperindag atau Kabulog Rahardi Ramelan, pada tanggal 2 Juli 2002.
- Bahwa dasar pelaksanaaan pemeriksaan saksi dengan teleconference didasarkan pula pada PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat membuka peluang bagi pemeriksaan saksi tanpa kehadiran di persidangan secara langsung. Pengaturan tersebut terletak pada Pasal 4 huruf c Bab II tentang bentuk-bentuk perlindungan pada PP No. 2 Tahun 2002 yaitu : “perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi pemberian keterangan pada saat pemeriksaan sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.”
- Bahwa sidang teleconference pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta, dilaksanakan Senin 16 Desember 2002 dalam perkara pelanggaran HAM berat Timor Leste atas Terdakwa mantan Danrem 164 / Wira Dharma Brigjen Noer Muis.[21]
3.
Dalam persidangan kasus Makar atasnama Terdakwa Abu
Bakar Ba’asyir, pemeriksaan saksi secara teleconference di dasarkan atas Surat Penetapan bernomor :
547/Pid.B/2003/PN. Jkt. Pst. tertanggal 19 juni 2003, dengan pertimbangan hukumnya sebagai
berikut :
1. Untuk mewujudkan
prinsip penyelenggaraan peradilan yang baik dan jujur ;
2. Bahwa ternyata dalam Berita
Acara Pemeriksaan ada saksi-saksi berada di Malaysia dan Singapura ;
3. Bahwa keterangan saksi-saksi yang berada di kedua
Negara tersebut perlu didengar dan diuji kebenarannya untuk mendapatkan
kebenaran materiil ;
4. Bahwa jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi dengan
menggunakan media teleconference dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Demi
objektifitas, pemeriksaan saksi-saksi akan dihadiri dan disaksikan oleh wakil /
utusan PN. Jakarta Pusat, Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum Terdakwa dan
utusan / wakil dari keduataan besar kedua negara ;
b.
Tempat yang
akan dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan saksi akan disesuaikan dengan
aturan hukum dan diserahkan pada kebijakan kedua negara.[22]
4. Teleconference dalam
persidangan Ali Gufron Alias Muklas, polarisasi pemikiran
majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang menyidangkan kasus atas nama terdakwa Ali
Gufron Alias Muklas menggelar
persidangan secara teleconference
pada pemeriksaan saksi Wan Min
Bin Wan Mat yang berada di Malaysia. Didasarkan atas argumen sebagai berikut :
a. Bahwa memang benar teleconference
tidak diatur dalam KUHAP karena pembuat Undang-Undang pada waktu itu tentunya
tidak menyadari adanya revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang
sedemikian pesat sehingga KUHAP tidak mampu mengantisipasinya. Apabila mengacu
secara kaku / formal legalistic memang teleconference
tidak sesuai dengan ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP
yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang sidang. Akan tetapi,
Majelis Hakim dengan tolak ukur ketentuan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004
(sekarang diatur dalam pasal 5 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan keHakiman) mewajibkan Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan memahami dan mengejar
kebenaran materiil dalam hukum pidana, aspek formal hendaknya bisa ditinggalkan
secara selektif.
b. Bahwa pada dasarnya KUHAP dibuat dengan tujuan untuk
mendapatkan kebenaran materiil sehingga teleconference
hanyalah sekedar sarana untuk mencari kebenaran materiil tersebut sehingga apa
salahnya apabila dimanfaatkan.
c. Bahwa dalam persidangan teleconference saksi juga bisa hadir di
ruang sidang secara virtual. Semua pihak boleh juga menguji keterangan saksi
dan keterangannyapun.[23]
5. Berdasarkan Surat
Penetapan
Nomor : 148/PEN.PID/2011/PN.Jkt.Sel. Tanggal 10 Maret 2011, penggunaan
Teleconference dalam perkara peradilan
tindak pidana Terorisme atas nama Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir, kembali dilaksanakan.
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor : 148/PEN.PID/2011/PN.Jkt.Sel. Tanggal 10 Maret
2011, pada pokoknya mengabulkan permohonan pemeriksaan secara teleconference atas 16 saksi tersebut
dengan dasar dan argumentasi hakim sebagai berikut:
a.
Bahwa
dasar hukum pemeriksaan saksi-saksi secara teleconference
adalah sebagai berikut :
-
Pasal
33 jo. Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme jadi Undang-Undang ;
- Pasal
2 jo. Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara
Tindak Pidana Terorisme ;
-
Pasal
9 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
b.
Bahwa
konsekuensi Hukum diakuinya azas kesamaan di depan Hukum (equality before the law), maka dalam system dan proses peradilan
pidana di Indonesia, selain korban, terhadap saksi juga harus diberikan jaminan
perlindungan hukum.
c. Bahwa
perlindungan hukum bagi saksi dan korban didasarkan pada penghargaan atas
harkat dan martabat manusia, agar dapat memberikan rasa aman dan adil serta
kepastian Hukum.[24]
Sejatinya
perkembangan mengenai penyajian teleconference
di pengadilan untuk memeriksa saksi juga terpengaruh dari adanya adagium yang
menyatakan “bahwa hukum itu berkembang
dan cenderung tertinggal”.[25] Sehingga di perlukan adanya terobosan hukum yang di
bentuk oleh hakim,
yang merupakan kewajiban bagi hakim itu sendiri untuk selalu menggali dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk memenuhi rasa keadilan.
Oleh
karena pemeriksaan secara teeleconfrence
di Indonesia tidak di atur dalam KUHAP, melainkan hanya diatur secara tersamar dalam
undung-undang yang secara lex specialist
mengatur mengenai perkembangan alat bukti, sedangkan ketentuan yang secara
tegas mengatur mengenai teleconference terdapat
dalam yurisprudensi. Di Indonesia sendiri yurisprundesi tersebut bersifat “Persuasive precedent” atau hanya sebagai sumber hukum dalam arti formal.
Indonesia juga tidak mengenal asas precedent (bukan
sebagai the binding force of the
precedent) tegasnya tidak mengenal stare decisis atau asas stare decisis et quita
non movere (yaitu
suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa pengadilan yang lebih rendah harus
mengikuti keputusan pengadilan yang lebih tinggi).[26] Maka untuk
menggunakan/memanfaatkan media teleconference dalam pemeriksaan di
persidangan menjadi sah, majelis hakim perlu mengeluarkan penetapan secara
khusus untuk terlaksananya teleconference. Hal ini berarti bahwa proses
pemberian kesaksian melalui teleconference ini tidak dapat secara
otomatis digunakan sebagai peraturan yang langsung dapat diterapkan.[27]
4.
LEGALITAS KETERANGAN SAKSI SECARA TELECONFERENCE
Dalam
pengertian yuridis, tentang bukti dan alat bukti, telah dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil
atau peristiwa,”[28] Alat bukti, “alat pembuktian, bewijs middle adalah alat-alat
yang dipergunakan untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu dalil di muka
pengadilan, misalnya : kesaksian,
bukti-bukti tulisan, persangkaan, sumpah dan lain-lain”.[29]
Pembuktian
adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan
ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. Secara
garis besar pembuktian juga berarti :
-
Ketentuan yang membatasi sidang
pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim,
penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum masing-masing terikat pada
ketentuan tata cara penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang.
-
Majelis hakim
dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkannya dalam putusan,
harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang secara “limitatif”,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP.[30]
Ditinjau dari segi
nilai dan kekuatan pembuktian atau “the
degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian
mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok
ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya agar keterangan
seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagi berikut :
a. Harus
mengucapkan sumpah atau janji
Menurut
pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberi keterangan ia wajib memberikan sumpah
atau janji, akan tetapi pada ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan
sumpah atau janji setelah saksi memeberikan keterangan. Dengan demikian saat
pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi
memberi keterangan (promissoris) namun
dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan maka sumpah atau janji dapat
diucapkan sesudah saksi memberi keterangan (assertoris).
Akan tetapi jika saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alsan
yang sah, saksi tersebut dapat dikenakan panyanderaan yang dilakukan
berdasarkan penetapan hakim ketua sidang paling lama 14 hari (pasal 161 KUHAP).
b.
Keterangan
saksi yang dinilai sebagai alat bukti
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat
bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang ditegaskan
dalam pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu
- yang saksi lihat sendiri,
- saksi dengar sendiri dan bukan saksi hanya mendengar dari orang lain (testimonium de auditu)
- dan saksi alami sendiri,
- serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
c.
Keterangan
saksi yang diberikan di sidang pengadilan
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti
keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dengan
penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP, dengan demikian keterangan saksi yang
berisi penjelasan tentang apa yang ia dengar, ia lihat dan yang ia alami
sendiri mengenai suatu peristiwa pidana baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila
keterangan itu dinyatakan saksi di pengadilan.
d.
Keterangan
seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dapat diambil sebagai alat
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unnus
testis nullus testis. Ini berarti
jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi
tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain,
kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, memperhatikan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan
yang dikehendaki oleh pasal 185 ayat (2), yaitu:
- Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi;
- Atau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.
-
e. Keterangan beberapa
saksi yang berdiri sendiri
Sering
terdapat kekeliruan pendapat
sementara orang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan
saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang
demikian keliru karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar
keterangannya di disidang pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas
minimum pembuktian belum tentu keterangan mereka secara kualitatif memadai
sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan kesalahan terdakwa.[31]
Hal ini sesuai dengan amanah pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menjelaskan bahwa “keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya kejadian atau keadaan tertentu”.
Apabila syarat-syarat
sah keterangan saksi tersebut telah terpenuhi maka keterangan yang telah
diberikan oleh seorang saksi itu telah mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat
diakui sebagai alat bukti. Keterangan
saksi tersebut akan dijadikan pertimbangan hakim untuk memberikan putusan atas suatu tindak pidana.
Seperti
diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai saksi yang sah menurut
hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Yang dimaksud dengan
kesaksian menurut M. Karjadi dan R. Soesilo yaitu “suatu keterangan dengan lisan di muka Hakim dengan sumpah tentang hal-hal
mengenai kejadian tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri”.[32]
Jika ketentuan mengenai
saksi diatas diterapkan dalam kesaksian yang diberikan secara teleconference dalam persidangan yang
memanfaatkan media teleconference pemeriksaannya,
maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Keterangan saksi dimuka sidang pengadilan
Penggunaan teleconference dalam hal ini telah
menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk
mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukan oleh seorang
saksi di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seorang
saksi di muka persidangan sebagaimana dimaksud secara fisik juga terpenuhi dengan
menggunakan teleconference.
b.
Dengan disumpah terlebih dahulu
Sebagaimana
ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi teleconference tidak jauh berbeda dengan
persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.
c.
Tentang peristiwa tertentu yang ia
dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Nontestimonium de Auditu).
Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa
keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi alat bukti
yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya.[33]
Selain ketiga ketentuan
mengenai saksi yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan
pula asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Sehingga jangan
sampai penggunaan teleconference
justru melanggar ketentuan asas dalam peradilan pidana karena besarnya biaya
yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologi teleconference tersebut.
Dalam permeriksaan
saksi secara teleconference asas
biaya ringan ini telah terpenuhi, penggunaan media teleconference di pengadilan tidak lagi bertentangan dengan asas
biaya ringan oleh karena sekarang ini penggunaan teleconferece sudah relatif murah dengan diperkenalkannya teknik
video dua arah. Sehingga
dengan terjangkaunya biaya penyelengaaraan teleconference maka teknologi
inipun dapat digunakan oleh setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh
dianggap perlu oleh Majelis Hakim.
Untuk
memperkuat argument penulis diatas, berikut penulis kemukakan pendapat para
pakar hukum mengenai pemeriksaan saksi secara teleconference :
Menurut RM. Sudikno Mertokusumo, pakar hukum perdata
dan hukum acara perdata, beliau
berpendapat bahwa “kalau peristiwa kongrit tersebut
tidak diatur sama sekali dalam undang-undang, maka yang harus
dipertanyakan apakah peristiwa konkret itu bertentangan dengan kesusilaan,
ketertiban umum atau tidak? “Kalau tidak, untuk apa dilarang.”?[34]. Pendapat ini dikuatkan
Muchsan, Mantan Hakim Agung, ia menyatakan bahwa ”jika suatu hal belum diatur,
itu tidak berarti hal tersebut dilarang. Apalagi teleconference dilakukan demi manfaat dan kepentingan umum”.[35]
Dan sebagai salah satu penganut
paham sosiologis, hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Arsyad Sanusi. Juga turut bersuara, menurutnya ”keterangan saksi melalui
teleconference sama nilainya dengan
saksi yang disumpah. Bahkan, sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkal
keterangan saksi lain via teleconference,
maka keterangan telconference
tersebut bisa menjadi alat bukti yang sah”.[36] ”Sepanjang tidak ada
rekayasa, kebohongan, dan intimidasi dari berbagai pihak, termasuk dari aparat
penegak hukum. Ringkasnya: sepanjang menjunjung asaz kejujuran, tranparansi,
dan berkeadilan, tidak ada masalah dengan kesaksian via teleconference, walau belum diatur dalam hukum acara”, lanjut Bambang
Sukamto yang melengkapi pendapat Arsyad.[37]
Menurut mantan Menkeh
dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, bahwa “keterangan saksi secra teleconference itu bobotnya sama dengan
kesaksian tertulis (affidavit)
ataupun keterangan yang diucapkan di bawah sumpah”.[38]
Sebagai pakar hukum
sekaligus penulis buku tentang KUHAP. Luhut MP Pangaribuan menjelaskan bahwa
sejatinya, teleconference bisa
dijadikan alat bukti untuk mencari kebenaran materiil. Menurutnya, tempat
kesaksian tidaklah terlalu penting dalam mencari kebenaran materiil itu. Hukum
acara, seperti juga pasal 184 KUHAP (aturan mengenai keterangan saksi) pada
hakikatnya juga merupakan arahan atau sebagai petunjuk untuk mencari kebenaraan
materiil.[39]
Terlebih dalam persidangan teleconference, saksi juga bisa hadir di
ruang sidang secara virtual. Jadi, sebenarnya tak ada bedanya. Semua pihak juga
boleh menguji keterangan dari saksi. Keterangannya pun bisa didengar oleh semua
pihak.[40]
Pendapat ini juga diamini oleh Agus
Subekti (Hakim Pengadilan Negeri Denpasar), yang mengungkapkan bahwa kesaksian secara teleconference adalah merupakan suatu asas yang berkembang
pada era globalisasi seperti saat ini, sehingga
kesaksian secara teleconference dalam
persidangan tidak perlu di permasalahan / diperdebatkan oleh karena keterangan
saksi secara teleconfrece adalah sama
dengan keterangan saksi secara konvensional yang bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil (wawancara pada tanggal 20 Oktober 2011).
Namun jika kita
menelaah kembali ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP, spintas memang
ketentuan tersebut mensyaratkan kehadiran secara fisik di muka persidangan, akan
tetapi kehadiran secara fisik di muka persidangan dalam hal ini harus diartikan
kehadiran fisik keterangan kesaksiannya. Jadi memperluas pengertian di muka
persidangan sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Pemeriksaan saksi
secara teleconference juga termasuk
dalam pengertian pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan kepada saksi atau
para saksi.[41]
Penafsiran
hukum terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut hukum acara pidana merupakan
terobosan yang perlu dilakukan dalam kaitannya untuk mencapai tujuan hukum itu
sendiri. Hal tersebut diperlukan agar Hakim tidak terbelenggu dengan hanya
bepedoman pada alat-alat bukti yang konvensional semata, yang akan mengakibatkan
suatu ketidak adilan oleh karena jika Hakim terbelenggu dengan tidak melakukan
terobosan hukum serta hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang konvensional
maka dipastikan banyak dakwaan Jaksa Penuntut Umum akan mental, tandas Erly
Soelistyarini melengkapi pendapatnya diatas.
Hadirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban Pelanggarah HAM Berat, Undang-Undang
Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan
Pemerintah RI Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Tatacara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut
Umum dan Hakim dalam Perkara Terorisme, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban, merupakan tonggak
kemajuan dalam menyikapi pemeriksaan saksi secara teleconference dengan telah memberikan sedikit solusi atas
kekosongan hukum acara pidana.
Akan tetapi kembali lagi bahwa diterima atau tidaknya suatu alat bukti di
persidangan ditentukan oleh hakim. Namun tidak semua alat bukti yang diterima di dalam
persidangan adalah layak di percaya dan berbobot.
Pengalaman dan analisis hakim merupakan paduan terbaik yang dapat digunakan untuk
menentukan barang bukti mana yang layak untuk dianggap kridibel. Dalam
mengevaluasi penggunaan alat bukti di dalam persidangan, perhatian perlu
difokuskan pada keterkaitan antara alat bukti tersebut dengan hal yang hendak
dibuktikan kebenarannya.
5. Simpulan
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai keterangan saksi
secara teleconference dalam
pembuktian perkara pidana, sebagai berikut :
a. Bahwa legalitas
pembuktian melalui keterangan saksi secara teleconference
adalah legal / sah menurut hukum sepanjang saksi tersebut memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
- Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (pasal 160 ayat (3) jo. pasal 185 ayat (7) KUHAP)
- Keterangan saksi dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual / teleconference di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari pasal 185 ayat (1) KUHAP)
- Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27 KUHAP)
- Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (pasal 185 ayat (6) KUHAP)
b. Bahwa kekuatan pembuktian (kracht
beweijs) dari kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference, jika dihubungkan dengan alat bukti sebagaimana diatur
dalam ketentuan pasal 184 KUHAP, baik secara langsung maupun
melalui penafsiran hukum, maka kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference
dapat digolongkan sebagai alat bukti keterangan saksi
sebagaimana diataur dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, sehingga kesaksian yang dikemukakan melalui
teleconference ini adalah sah dan dapat diajukan sebagai alat bukti pada
proses pembuktian perkara pidana, sedangkan mengenai kekuatan hukum keterangan
saksi secara teleconference, memiliki
kekuatan hukum sama dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional
sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.
[1] M. Yahya Harahap, 2005,
Pembahasan Permasalahan Dan
Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali.,Sinar Grafika, Jakarta
.h. 273.
[2] Hari Sasangka, 2005, Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa Dan Praktisi, Mandar Maju,
Bandung, h. 26.
[3]
H. M. Arsyad Sanusi, et. Al. 2003, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang
Pemanfaatan Media Elektronik (Teleconference)
Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana, Badan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan HAM RI, Jakarta,
h.3.
[4] Facta Pos, Klarifikasi
Hakim Lakukan Teleconference, data diakses tanggal 25 Mei 2011, alvalaible from: URL : http://www.faktapos.com/content/lain-lain/4814-klarifikasi-Hakim-lakukan-teleconference.html
[5] Hukum
Online.com, Menggugat Dasar Pemeriksaan Saksi Melalui Teleconference, data
diakses tanggal 19 September 2011 : http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d832f081d0ee/menggugat-dasar-pemeriksaan-saksi-melalui-iteleconferencei
(selanjutnya di singkat Hukum Online.com I)
[6] Hukum Online.com, Saksi Tak Hadir di
Persidangan Tak Langgar KUHAP, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible
from: URL: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4cb47c75e9c18/saksi-tak-hadir-di-persidangan-tak-langgar-kuhap
(selanjutnya di singkat Hukum
Online.com II).
[7]
Lilik Mulyadi, 2008, Bungan Rampai
Hukum Pidana Perspektif, Teoritis Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, h. 125
(selanjutnya di singkat Lilik Mulyadi I).
[8] Ibid, h.
126.
[9]
Sasongko Adhi Nugroho, Analisis
Kedudukan Dan Kekuatan Pembuktian Digital Evidence Dalam Pembuktian Perkara
Korupsi (Suatu Studi Terhadap UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik Dan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi), data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://www.digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/128040408201011481.pdf h. 40.
[11] Saut Erwin Hartono A.
Munthe, Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Dalam Proses Persidangan
Perkara Pidana, data diakses tanggal 21 Oktober 2011, alvalaible from: URL: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353
[13] Anonim, Bab II Tinjauan
Pustaka, data diakses tanggal 24
Agustus 2011, alvalaible from: URL : httprepository.upi.eduoperatoruploads_d0551_060214_chapter2.pdf
[14]
Anonim, Bab II Tinjauan Pustaka, data diakses tanggal 24
Agustus 2011, alvalaible from: http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=26498.
h. 49.
[15]
Ibid.
[16]
Ibid. h. 50.
[17]
Ibid.
[18]
Grace Wahyuni, Keabsahan RUPS Teleconference Dan Tanda Tangan Elektronik, data diakses tanggal 6 September 2011,
alvalaible from: URL: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128943-T%2026707-Keabsahan%20tanda-HA.pdf
[19] Hukum Online.com, Saksi Tak Hadir di
Persidangan Tak Langgar KUHAP, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible
from: URL: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4cb47c75e9c18/saksi-tak-hadir-di-persidangan-tak-langgar-kuhap
[20]
Sherly Adam, 2008, “Keterangan Saksi Melalui Teleconference Dalam Pemeriksaan
Perkara Pidana Di Pengadilan”, Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Denpasar, h. 121-124.
[21]
Sekar Dianing Pertiwi Soetanto, Perkembangan
alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pada kuhap dan Undang-Undang khusus
di Indonesia, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL : http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/02807200908591.pdf, h. lxvi – lxvii.
[22]
H. M. Arsyad Sanusi, et. Al, Op.
Cit, h. 91
[23]
Lilik Mulyadi, Op. Cit,
h. 123.
[24]
Facta Pos, Loc. Cit.
[25]
Supriyadi Widodo Eddyono. Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa
Masalahnya, data diakses tanggal 24 Agustus 2011, alvalaible from: URL: http://perlindungansaksi.files.wordpress.com/2008/05/perlindungan-saksi-di-pengadilan-ham-beberapa-masalahnya.pdf,
h. 4.
[26]
Melita Kristin B.R , Perbandingan Hukum Pidana,
data diakses tanggal 9 September 2011, alvalaible from: URL:http://melitanotlonely.multiply.com/journal/item/14/pembahasan_Midtest_PERBANDINGAN_HUKUM_PIDANA
[27]
Supriyadi Widodo Eddyono, Loc.
Cit.
[28] Soesilo
Prajogo, 2007, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Wipress, h. 26.
[29] Ibid, h. 71.
[30]
M. Yahya Harahap, Op. Cit. h. 274.
[31]
Ibid. h. 289.
[32] M. Karjadi dan R.
Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan
Resmi Dan Komentar, Politeia, Bandung, h. 164
[33]
Muhammad Rustamaji, Teleconference Dalam Kacamata Hukum
Pembuktian, data diakses tanggal 24
Agustus 2011 http://rustamaji1103.wordpress.com/2008/02/11/teleconference-dalam-kacamata-hukum-pembuktian/
[34]
Budhy Setiawan Marwan, Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban, Buletin
Kesaksian, Ed. No.II. 2011.
[36]
Ibid, h. 11
[37]
Ibid.
[38]
Koran Tempo, Teleconference Bisa
Menjadi Yurisprudensi, data di akses tanggal 20 September 2011, alvalaible
from: URL: http://www.arsip.net/id/link.php?lh=Bg4ABQRRA1YB
[39] Hukum Online.com, Menguji Kesaksian Secara Virtual, data di akses tanggal 20 September 2011, alvalaible from: URL: http://hukumonline.com/berita/baca/hol8278/menguji-kesaksian-secara-virtual (selanjutnya di singkat Hukum Online.com III).
[40] Lalu Mariyun, et. Al. Intisari
Penyelenggaraan Sidang Pengadilan Dengan Metode Teleconference Ditinjau Dari
Aspek Hukum Pembuktian (Studi Kasus Perkara Pidana No. 354/PID/B/2002/PN.JAK-SEL.), data di akses tanggal 20 September 2011, alvalaible from: URL: http://www.scribd.com/doc/32685142/Saksi-Wajib-Hadir-Di
[41]
Sherly Adam, Op. Cit, h. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar